25 Juli 2011

Obat Habis di RSUD Bajawa

Buruknya Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Kontrol

Oleh Frans Anggal

RSUD Bajawa kehabisan obat. Ini sulitkan rumah sakit tangani pasien. Keluarga pun kecewa. Harus beli obat mahal di apotek. “Kami ini pasien dari keluarga miskin yang yakin akan dapat kemudahan dari program Jamkesmas,” kata Eduardus Lae asal Mbay (Flores Pos Jumat 22 Juli 2011).

Obat habis tidak berarti tidak ada obat. Masih ada. Sangat banyak. Nilainya miliaran rupiah. Namun, tidak boleh digunakan. Karena sudah kadaluarsa. Sudah jadi sampah. Tapi belum juga dimusnahkan. “Ini yang buat aset RSUD Bajawa seakan besar sekali, karena dihitung juga dengan obat kadaluarsa,” kata Direktris Meri Betu.

Ini salah satu faktor. Miliaran rupiah amblas untuk datangkan bakal sampah: obat yang cepat kadaluarsa. Masa lakunya tidak dipedulikan. Tender hanya perhatikan hal prosedural, abaikan hal substansial. Yang penting tata caranya tepat. Mutunya persetan.

Ini laku umum dalam tender. Pembangunan gedung, jembatan, jalan raya, bendungan, saluran irigasi juga begitu. Hanya pentingkan prosedur, persetankan mutu. Di Manggarai, misalnya. Saluran irigasi Wae Ces II dikerjakan asal-asalan. Belum setahun, sudah jebol sana-sini (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).

Dalam kasus habisnya obat di RSUD Bajawa, faktor lainnya: anggaran. Kurangnya alokasi dana untuk pembelian obat, kata direktris. Kurang, karena kebutuhan meningkat. Pasien banyak. Sebagian besar dari keluarga tidak mampu. Mereka pakai kartu Jamkesmas. Tidak hanya dari Ngada, tapi juga dari Nagekeo dan Manggarai Timur yang belum punya RSUD.

Direktris memberi gambaran. “Dari Januari sampai Mei saja, kalau diuangkan, bisa mencapai Rp5 miliar.” Bandingkan dengan alokasi dananya. Pemkab, kata Wabup Paulus Soliwoa, alokasikan Rp6 miliar untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada (JMKN). Meski ini luar Askes dan Jamkesmas, de facto jumlah ini tidak cukup.

Atasi ketiadaan obat, kata Wabup Soliwoa, RSUD bisa gunakan dana emergensi. Ini langkah darurat. Tak ada rotan, akar pun jadi. Semestinya tidak begitu. RSUD tidak sedang tertimpa bencana. Persoalanya bukan pada bencana, tapi pada rencana. Kurang beresnya program, alokasi dana, penyelenggaraan, dan kontrol.

Di Flores, RSUD menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Pada kabupaten tertentu, malah terbesar. Ini ironi besar. Ironi pertama: biaya pembangunan terbesar bersumberkan PAD justru berasal dari orang sakit. Bukan dari orang sehat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut orang sakit itu ”pasien”. Dari kata Inggirs, “patient”, yang sebagai kata sifat justru berarti “sabar”. Cocok untuk orang sakit di Flores. Mereka harus sabar. Karena merekalah tulang punggung PAD. Sebagai tulang punggung, mereka harus ulet menderita, meski tinggal tulang, karena tidak mampu beli obat di apotek, lantaran obat generik di RSUD habis.

Inilah ironi kedua: RSUD tulang punggung PAD, tapi diperlakukan sebagai tulang kering: kurang berisi. Yang berisi justru tulang ekor atau tulang kedudukan: tunjangan besar bagi yang berkedudukan besar. Juga tulang pipi, demi wajah atau penampilan: anggaran besar untuk rumah jabatan, rumah dinas, mobil dinas. Juga tulang tapak kaki: dana besar untuk perjalanan dinas pejabat

Betul-betul ironi besar: RSUD Bajawa kehabisan obat. Bupati, wabup, DPRD harus merasa bersalah dan malu. Berbenahlah!

”Bentara” FLORES POS, Senin 25 Juli 2011

Tidak ada komentar: