Tidak Pas, Tidak Perlu, Tidak Harus
Oleh Frans Anggal
Mereka duduk berjejer dalam dandanan busana wisuda. Lengkap dengan toga dan topi. Acara puncak pun tiba. Mereka maju satu-satu, menerima map kelulusan. Begitulah yang tampak pada sebuah foto yang menyertai sebuah berita: "Wisuda Perdana PAUD Rerawete" (Flores Pos Rabu 13 Juli 2011).
PAUD Rerawete berada di Desa Nabe, Kecamatan Maukoaro, Kabupaten Ende, Flores. Wisuda perdananya pada Sabtu 9 Juli 2011. Wisudawan-wisudawatinya 18 orang. Acaranya tergolong hebat untuk ukuran desa di Flores. Hadir, Kadis PPO Ende diwakili Kepala Seksi PAUD, Sekcam Maukaro, tiga kades, dan tokoh masyarakat.
Tentang wisudawan-wisudawati ini, Om Toki pada "Senggol" Flores Pos Kamis 14 Juli 2011 berkomentar, "Om Toki kira sudah sarjana." Soalnya, di Indonesia, wisuda (graduation) lazim dikaitkan dengan dunia perguruan tinggi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), misalnya, meski mengartikan wisuda secara luas, namun semua contoh kalimatnya mengaitkan kata itu dengan dunia akademik.
Menurut KBBI, "wisuda" itu peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Contoh kalimatnya: “Para sarjana yang baru lulus menghadiri acara wisuda bersama orang tua mereka.” Mewisuda: “Menteri Dalam Negeri Rabu pagi mewisuda 47 orang sarjana muda lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri.” Wisudawan dan wisudawati: “Rektor mempersiapkan para wisudawan dan wisudawati untuk berkumpul dan berfoto bersama.”
Semua contoh tersebut mengarah ke dunia akademik. Kenapa? Karena lazimnya begitu. Wisuda diperuntukkan bagi tamatan perguruan tinggi. Itulah dasar "keterkecohan" Om Toki. Makanya dia mengira 18 tamatan PAUD Rerawete itu sudah sarjana. Satu nol buat Om Toki!
Itu baru istilah wisuda-nya. Belum lagi busana wisuda-nya: toga dll. Secara visual sekilas, yang membedakan 18 tamatan PAUD Rerawete dari tamatan perguruan tinggi hanyalah ukuran tubuh. Bertoga, mereka tampak seperti sarjana. Sarjana kerdil. Kita teringat akan praktik lain pada Hari Kartini. Putri-putri cilik didandan seperti ibu-ibu. Pakai kebaya, sanggul, sepatu hak tinggi.
Toga itu jubah wisuda atau jubah akademik. Bahasa Inggris menyebutnya secara sangat jelas: academic dress. Yang juga disebut toga, meski berbeda-beda pola dan bahannya, adalah jubah imam Katolik (cassock), jubah pendeta Protestan (geneva gown), dan jubah persidangan di pengadilan (court dress).
Dunia akademik, jelas, bukanlah dunia anak-anak. Lalu, kenapa dan untuk apa anak-anak PAUD diwisuda dan pakai toga segala? Mau tunjukkan mereka telah mencapai prestasi akademik tertentu?
PAUD bertujuan mengembangkan semua potensi anak. Bukan pertama-tama kemampuan akademik. Salah satu prinsip PAUD adalah belajar melalui bermain. Itulah yang membedakan anak-anak dari orang dewasa. Orang dewasa bisa membedakan antara bermain dan bekerja. Anak-anak tidak.
Jadi? Wisuda PAUD dengan segala dandanan akademik itu tidak pas buat anak. Tidak pas, maka tidak perlu. Tidak perlu, maka tidak harus. Tidak harus, maka tidak boleh dipaksakan. Kalau dipaksakan, patut dapat diduga ada motif lain. Dan itu pasti motif komersial.
Untuk masyarakat di Flores, komersialisasi pendidikan akan semakin memberatkan hidup. Beli susu untuk anak saja susah. Sekarang harus sewa pakai busana wisuda? Hmmm. Yang benar saja!
”Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar