Krisis Air Bersih di Labuan Bajo
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai Barat (Mabar) perlu segera membentuk perusahaan daerah air minum (PDAM). Perdanya sudah ada. Jika air minum tidak dikelola instansi khusus ini, krisis air bersih tetap terjadi. Desakan itu disampaikan mantan anggota DPRD Mabar Laurensius Barus di Labuan Bajo (Flores Pos Sabtu 2 Juli 2011).
Desakan yang sama pernah dilontarkan anggota DPRD Mabar, Vitus Usu dan Daniel Ganggur. Jika air minum tetap dikelola dinas lingkup pemkab, kata kedua wakil rakyat, krisis air bersih tidak akan habis. Khususnya di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Mabar.
Fakta: pada beberapa wilayah di kabupaten seluas 9.450 km persegi ini, air bersih melimpah. Sedangkan pada beberapa wilayah lain, kurang. Jelas, persoalanya adalah distribusi. Dana untuk itu ada. Malah miliaran rupiah telah dihabiskan. Kalau begitu? Ini bukan hanya soal debit air dan dana, tapi juga dan malah terutama soal manajemen.
Sejak Mabar jadi daerah otonom, disapih dari kabupaten induk Manggarai melalui UU Nomor 8 Tahun 2003, pengelolaan air bersih ditangani unit pelaksana teknis pada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Merangkap banyak pekerjaan membuat PU tidak fokus urus air. Belum lagi konflik kepentingan, birokrasi berbelit, dan berbagai bentuk penyimpangan. Ini semua membuat krisis air tidak habis-habisnya.
Kenyataan ini bukan tidak disadari. PU urus air minum itu hanya sementara. Proyeksinya, akan ditangani PDAM.. Perdanya sudah ada. Namanya sudah diberikan: PDAM Wae Mbeliling. Tunggu apa lagi? Tahun 2009, Sekda Benediktus Ngete bilang, masih tunggu persiapkan segala sesuatunya. Termasuk, menemukan pemimpin yang cocok untuk mengelola perusahaan daerah ini.
Dua tahun lewat. PDAM Wae Mbeliling masih hanya ada di atas kertas (perda). Belum hadir di atas tanah. Maka, yang mengalir adalah wacana, bukan air. Dengan demikian, "PDAM Wae Mbeliling" itu sebetulnya belum ada. Dia masih berupa "PDAM Maya". Belum menjadi "PDAM Nyata". Di bawah "PDAM Maya" inilah Mabar tetap kekurangan air bersih.
Bagi bupati, wabup, sekda, dan petinggi kabupaten, tampaknya, yang disebut kekurangan itu sesuatu yang maya pula. Bukan sesuatu yang nyata. Sebab, mereka sendiri tidak berkekurangan. Mereka yang berduit ini bisa membeli air isi ulang dengan mutu terjamin. Tidak demikian halnya dengan masyarakat kebanyakan. Mereka harus berkorban berjaga malam-malam kalau mau mendapat air. Itu pun kalau airnya keluar.
Kelihatan sekali, pemkab tidak punya sense of crisis. Sudah delapan tahun Mabar jadi daerah otonom. Selama itu pula pengelolaan air bersih tidak beres-beres. Disadari, pengelolaan oleh PU hanya sementara. Namun kesementaraan itu tetap berlangsung. Perda PDAM sudah ada. Namun realisasinya masih sebatas rencana.
Kentara pula, pemkab tidak punya skala prioritas. Tidak mendahulukan mana yang lebih penting dan mendesak. Bangun kantor, bisa: tempat segelintir pegawai bekerja. Bangun rumah jabatan, bisa: tempat segelintir pejabat dan keluarga berdiam. Beli mobil dinas, bisa: kendaraan segelintir petinggi ke mana-mana. Tapi, bangun sarana air bersih yang bagus, tidak bisa: kebutuhan vital bagi semua orang.
Kita berharap Pemkab Mabar "bertobat". Segera wujudkan "PDAM Wae Mbeliling" dari "PDAM Maya" menjadi "PDAM Nyata". Dari atas kertas ke atas tanah. Dengan demikian, mudah-mudahan, yang lancar mengalir bukan lagi wacana, tapi air bersih.
”Bentara” FLORES POS, Senin 4 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar