Pol Air Permalukan Mabes Polri
Oleh Frans Anggal
Sejumlah nakhoda dan awak kapal layar motor (KLM) barang jurusan Makassar-Larantuka mengeluh. Mereka merasa diperas dengan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum aparat Polisi Air (Pol Air) yang bertugas di Kapal Patroli (KP) Kutilang. Mereka meminta Kapolri menindak tegas para pelaku (Flores Pos Selasa 19 Juli 2011).
Pol Air KP Kutilang merupakan bawah komando operasi (BKO) dari Markas Besar (Mabes) Polri. Ditugaskan untuk mengamakan pemilukada Flores Timur (Flotim). Tentu tetap dalam ranah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Pol Air. Yakni membina dan menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan. Untuk layani, lindungi, ayomi, serta pelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum.
Yang mereka lakukan, jauh panggang dari api. Tupoksi hanya ada di atas kertas. Tidak di atas air. Di atas kertas: tupoksi. Di atas air: pungli. Modusnya: interogasi, cari kesalahan, ujung-ujungnya duit. Sejak April 2011, empat kapal barang telah jadi korban. KLM Subur Makmur Rp10 juta. KLM Cahaya Akbar IV Rp7 juta. KLM Akbar Disayang Rp2 juta. KLM Akbar Setia Rp500 ribu.
Kasus terakhir, 15 Juli, menimpa KLM Akbar, di pelabuan Larantuka. Kapal ini miliki dokumen resmi dari Syahbandar Makassar. Setelah geledah, Pol Air temukan dua kesalahan. Pertama, kapal ini memuat barang campuran (semen 130 ton, terigu 70 ton). Kedua, nakhoda Onta Mappa, meski tamat, tidak bisa tunjukkan ijazah kursus pelayaran. Ujungnya jelas.
"Saya ditanya, berapa uang yang ada di saku," tutur Onta Mappa. "Saya jawab Rp2 juta, untuk biaya makan minum di atas kapal selama di Larantuka. Saya dipaksa untuk berikan uang itu, dan saya berikan. Sekarang kami kesulitan uang untuk kebutuhna di kapal."
Bahwa ada pelanggaran atau hal yang tidak beres pada keempat kapal, itu pasti. Bisa menyangkut dokumen pelayaran, perlengkapan keamanan, ijazah nakhoda, atau apa saja. Namun, yang jadi soal di sini bukan itu. Bukan ada tidaknya pelanggaran. Tapi bagaimana pelanggaran itu ditangani. Yang dilakukan oknum Pol Air itu tangkap-peras-lepas. Prosedur KUHAP diinjak habis. Kasih uang habis perkara. Tak kasih uang muncul perkara.
Perihal yang terakhir ini, nama Pol Air pernah tercoreng di luar negeri. Minggu, 15 November 2009, media di Australia menurunkan berita yang menuding aparat Pol Air Indonesia menembaki perahu pengangkut 61 warga Afghanistan di perairan dekat Pulau Rote 13 November 2009. Kenapa? Karena para pencari suaka tidak bisa membayar lebih banyak uang suap yang diminta aparat Pol Air.
Kali ini, di Larantuka. Bukan karena "tak kasih uang muncul perkara". Tapi sebaliknya, karena "kasih uang habis perkara". Namun, karena korban pemerasan berani bersuara, "kasih uang habis perkara" itu pun akhirnya timbulkan perkara.
Dan perkara ini menampar Mabes Polri. Sebab, Pol Air itu BKO dari mabes. Dari mabes mereka emban tupoksi. Di Flotim mereka lakukan pungli. Digaji sambil nyambi. Nyambi yang salah. Sambil ber-tupoksi, mereka ber-pungli. Sambil kerja keras, mereka kerja peras. Mereka permalukan mabes.
Karena itu, desakan para korban sangat tepat. Langsung ke bos mabes. Mereka meminta Kapolri menindak tegas para pelaku. Lha, bagaimana kalau tidak ada tindakan dari mabes? Jangan kaget, pasti muncul kesan, pemerasan itu atas persetujuan atau perintah orang mabes. Peras ke bawah, setor ke atas.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar