07 Juli 2011

Bangunkan Bupati Mabar

Krsis Air Bersih di Labuan Bajo

Oleh Frans Anggal

Pelanggan air bersih di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), mengeluh. Beberapa bulan terakhir air tidak keluar. Biaya beban jalan terus. Tiap bulan Rp10.000. Berani tidak bayar, meteran air dicabut oleh Pengelola Air Minum (PAM), unit pelaksana teknis pada Dinas Pekerjaan Umum alias PU (Flores Pos Rabu 6 Juli 2011).

Sebagian warga terpaksa beli air dari mobil tangki. Harganya duilah. Rp100 ribu per tangki 200 liter. Itu berarti Rp5 ribu per liter. Ini benar-benar gila. Air lebih mahal daripada bensin. Warga Labuan Bajo seakan hidup di Gurun Sahara puluhan abad silam.

Siapa yang diuntungkan? Pebisnis air. Siapa mereka? Kalau ditelusuri, mereka orang dalam Dinas PU dan/atau yang bekerja sama dengan orang PU. Mereka melanggan air PAM untuk ditampung di bak besar. Air tampungan inilah yang mereka jual.

"Investigasi saya bersama Andre Durung (wartawan Flores Pos) mendapatkan dua buah bak besar di wilayah Kaper, 2 kilometer dari Labuan Bajo," tulis Chelluz Pahun dalam Grup Face Book "Pemimpin Manggarai Masa Depan". Ia menanggapi "Bentara" Flores Pos Senin 4 Juli 2011, "PDAM Maya di Mabar".

Menurut pemred wartasemesta.com ini, dua bak besar itu milik orang PU dan pemilik penginapan. Keduanya bayar rekening air yang dialirkan ke bak itu. Ketika Labuan Bajo krisis air bersih, mereka ambil air dari bak itu dan menjualnya dalam bentuk tangki kepada warga, pemilik hotel, dan restauran di wilayah Gorontalo yang rata-rata tak punya fasilitas air bersih.

Pihak PU tahu akan hal ini. Bupati Agus Ch Dula juga. Maka dibentuklah tim normalisasi air. Lucunya, orang PU si pedagang air itu juga dilibatkan. Hasil kerja tim ini pun tidak jelas. Labuan Bajo tetap krisis air bersih. Maka, mobil tangki air itu tetap beroperasi. Para pebisnis air itu tetap menangguk untung. Belinya murah, jualnya mahal.

Tampaknya, bisnis ilegal ini menjadi salah satu penyebab berlarutnya PAM dikelola Dinas PU. Padahal perda tentang PDAM sudah ada. Lengkap dengan namanya: PDAM Wae Mbeliling. Semestinya PDAM-nya segera dibentuk. Kog tersendat-sendat? Kenapa? Salah satu jawabannya, itu tadi. Kalau PDAM Wae Mbeliling dibentuk, orang dalam PU dkk tidak leluasa lagi berbisnis ilegal.

Yang mengherankan, meski bisnis ilegal ini diketahui bupati, koq tidak ada tindakan. Yang dilakukan bupati hanyalah melantik tim normalisasi air. Habis itu ya habis. Seolah-olah, dengan dilantiknya tim normalisasi air maka dengan sendirinya pula normallah ketersedian air bersih, meski timnya hanya le-lau (hilir-mudik) tidak jelas.

Mentalitas apa di balik sikap bupati ini? Mentalitas magis. Formulasi konsep dan ritual performance (pelantikan tim normalisasi air), itulah yang dianggap penting. Sedangkan kenyataannya (apakah ketersediaan air bersih sudah normal atau belum), itu tidak soal, karena nanti air bersih akan "datang dengan sendirinya", ex opere operato. Efek magis.

Terperangkap lelap dalam kurungan magis, bupati perlu segera dibangunkan. Jurnalis P.Y. Don Bosco Wahi dalam Grup Face Book "Pemimpin Manggarai Masa Depan" mengusulkan class action. Masyarakat menggu¬gat pemkab ke pengadilan negeri atau pengadilan HAM karena terlalu lama menelantarkan rakyat.

Itu langkah yuridis. Langkah praktisnya? Demo besar-besaran. Libatkan ibu-ibu rumah tangga. Pergi minta air di kantor bupati dan DPRD. Bawa serta ember, jeriken, baskom, periuk, dandang. Bunyikan semua alat itu sekeras-kerasnya sebagai orkes kengko lemot. Bangunkan bupati dan DPRD dari lelap.

”Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Juli 2011

Tidak ada komentar: