Kasus Penambangan Pasir Pantai
Oleh Frans Anggal
Pol PP Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) menahan seorang penambang liar, Selasa 12 Juli 2011. Ia tertangkap tangan sedang mengambil pasir laut di bibir pantai Gorontalo, Labuan Bajo. Ia digelandang ke kantor Pol PP bersama barang bukti mobil dan pasir. Setelah diambil keterangan, ia buat pernyataan di atas kertas bermeterai. Selanjutnya pasir dalam mobil dikembalikan ke pantai.
"Kalau kedapatan lagi berbuat serupa, dia langsung diproses hukum sesuai aturan, di antaranya undang-undang lingkungan hidup," kata Kasat Pol PP Roby Ngolong (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).
Dari keterangan pelaku, Pol PP mendapat informasi, pelaku bertransaksi dengan seseorang yang mengaku sebagai pemilik lahan. Sekali angkut Rp50.000. Selain dipakai sendiri, pasir ia jual. Maka, hari itu juga Pol PP menjemput si 'pemilik' lahan. Ia mengakui perbuatannya. Setelah dijelaskan bahwa pasir pantai dilarang diambil demi menghindari abrasi, ia paham. Ia berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Ada dua fakta penting di sini. Pertama, penambang dan 'pemilik' lahan melanggar UU. Kedua, meski demikian, keduanya tidak diproses hukum. Padahal, itu dimungkinkan bahkan diharuskan oleh UU.
Dari sisi penegakan aturan UU, Pol PP Mabar bisa bahkan harus disalahkan. Mereka tidak lakukan hal yang seharusnya dilakukan. Namun, dari sisi tilik penegakan hukum, perbuatan mereka dapat dipertanggungjawabkan. Hukum di sini dalam pengertian "hukum progresif", sebagaimana dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo.
Doktor filsafat politik Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif (Jakarta: Obor, 2011) menjelaskan sepuluh tesis hukum progresif Satjipto Rahardjo. Salah satunya, tesis kesepuluh, simpulan dari sembilan tesis terdahulu, tentang "hukum progresif yang membebaskan".
Ditegaskan, hukum ada bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk manusia. Untuk mengatur, bukan untuk membelenggu hidup manusia. Karena itu, ia tidak boleh hanya memperhatikan apa yang ditetapkan dalam aturan, tetapi juga apa yang berlangsung dalam masyarakat. Ia harus terbuka, responsif, kreatif, dan aktif terhadap dinamika sosial. Inilah sikap berhukum yang benar.
Disadari atau tidak, sikap berhukum seperti inilah yang dianut aparat Pol PP Mabar ketika tidak memproses hukum kedua pelaku pelanggaran. Keduanya mencari nafkah. Melalui cara yang, tidak mereka ketahui, ternyata melanggar UU. Setelah dijelaskan, barulah mereka tahu. Setelah tahu, mereka berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Penanganan kasus seperti ini memperlihatkan, hukum itu bukan hanya urusan aturan UU. Tapi juga dan malah terutama urusan manusia. Ia memberikan perhatian besar pada perilaku manusia. Dengan demikian, sadarnya pelaku pelanggaran, dan lahirnya janji atau tekad mengubah perilaku, itu sudah merupakan hasil. Dari sisi tilik ini, Pol PP Mabar sudah menegakkan hukum, dan sukses.
Berhukum progresif melahirkan keadilan hukum. Tidak sekadar kepastian hukum. Sayangnya, dalam praktik berhukum di negeri ini, kepastian sering mengalahkan keadilan. Korbannya selalu saja orang kecil. Orang besar mudah luput. Sebab, meski tidak bisa membeli keadilan, orang besar selalu bisa membeli kepastian. Kepastian itu ada pada huruf UU. Tinggal pilih, mau pakai pasal dan ayat mana. Semuanya bisa diatur. Karena, semuanya bisa dibeli.
”Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar