Peradilan Hukum dan Peradilan Sosial
Oleh Frans Anggal
Mantan bupati Sikka Alexander Longginus men¬datangi Kejari Maumere, Jumat 15 Juli 2011. Ia datang atas inisiatif sendiri. Tujuannya, meminta klarifikasi tentang kejelasan statusnya dalam empat kasus dugaan korupsi selama masa kepemimpinannya 2003-2008 (Flores Pos Sabtu 16 Juli 2011).
Keempat kasus itu adalah kasus pendirian dan pembangunan Univesitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, kasus dana purnabakti anggota DPRD Sikka 2004-2009, kasus dana penunjang kegiatan DPRD Sikka 2004-2009, dan kasus hibah kendaraan dinas operasional DPRD Sikka 1999-2004.
Keempat kasus ini tercantum dalam surat Kajati NTT Lorens Serworwora kepada Jaksa Agung RI cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tanggal 10 Maret 2006. Di dalamnya dinyatakan, kejaksaan akan memeriksa Alexander Longginus (saat itu masih sebagai bupati Sikka) sebagai saksi atau tersangka.
Faktanya? "Saya sama sekali belum dimintai keterangan atau diperiksa, baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Saya sendiri berinisiatif untuk menemui kajari dan meminta klarifikasi terkait empat kasus dugaan korupsi di atas," kata Alex Longginus. "Terus terang, saya sangat terganggu secara sosial dan hukum. Seolah-olah saya koruptor, padahal kenyataannya tidak. Saya mau minta kejelasan kajari, apakah saya sebagai saksi atau sebagai tersangka."
Belum diperiksanya Longginus membuat status hukumnya tidak jelas. Ketidakjelasan statusnya dalam peradilan hukum memberi peluang bagi kesewenang-wenangan peradilan sosial. Ia diadili oleh masyarakat melalui rumor. Bahwa dia koruptor. Padahal, belum ada vonis hukum. Diperiksa jaksa saja belum.
Peradilan sosial itu keji. Karena, berbahankan rumor, peradilan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan dan di mana saja. Semua orang bisa jadi jaksa yang mendakwa dan hakim yang memutus. Peradilannya in absentia. Tanpa kehadiran si terdakwa. Dengan demikian, terdakwa tidak diberi kesempatan membela diri. Peradilan yang sewenang-wenang.
Inilah yang menimpa Longginus. Penyebab utamanya, jelas. Bukan karena adanya kasus yang diduga melibatkan dirinya. Tapi karena tidak adanya keseriusan kejaksaan menidaklanjuti dugaan itu. Ini peluang bagi kesewenang-wenangan peradilan sosial. Ini bisa dikurangi kalau proses hukum berjalan. Kalau Longginus diperiksa oleh kejaksaan.
Di sini, proses hukum berperan sebagai rem yang mengekang kecenderungan sosial pada kesewenang-wenangan. Mengabaikan proses hukum, secara apriori berarti melakukan ketidakadilan. Dalam hal ini ketidakadilan terhadap diri Longginus. Itu terjadi jika dugaan pelanggarannya justru tidak terbukti, sementara masyarakat---melalui peradilan sosial---sudah memvonisnya bersalah.
Karena itu, kita mendesak kejaksaan segera memeriksa Longginus. Segera pastikan statusnya: apakah sebagai saksi ataukah tersangka. Dengan pemastian itu, keadilan dapat ditegakkan. Jika nanti terbukti bersalah, Alex Longginus harus dihukum. Jika tidak, ia harus dibebebaskan.
Dengan dibebaskan melalui proses hukum, nama baiknya dapat dipulihkan secara publik. Akan berakhir pula segala dakwaan dan vonis keji peradilan sosial yang sewenang-wenang. Dalam konteks ini, proses hukum adalah proses klarifkasi. Penjernian, penjelas¬an, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya.
”Bentara” FLORES POS, Senin 18 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar