05 Juli 2011

Matim dan Raskin Itu

Tersendatnya Penyaluran Raskin 6 Bulan

Oleh Frans Anggal

Sebanyak 75 dari 144 desa dan kelurahan di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) belum ajukan permintaan penyaluran raskin selama Januari-Juni 2011. "Kita sendiri telah lakukan pelbagai upaya untuk percepatan penyaluran sesuai dengan jadwal setiap bulannya. Tetapi, pelbagai upaya itu sepertinya belum berhasil menggerakkan para kades untuk segera menyelesaikan urusan raskinnya," kata Kasubdivre Perum Bulog Ruteng, Umbu Mangu Gadung (Flores Pos Senin 4 Juli 2011).

Data mempelihatkan, mayoritas desa pada tiap kecamatan di Matim belum mengambil raskin. Kecamatan Borong, 15 dari 21 desa. Kota Komba, 12 dari 17 desa. Sambi Rampas, 8 dari 11 desa. Poco Ranaka, 20 dari 28 desa. Elar, 14 dari 21 desa. Lamba Leda, 7 dari 16 desa.

Apakah desa-desa itu tidak punya rumah tangga miskin (RTM)? Sehingga tidak butuhkan raskin? BPS NTT memang menyebutkan, jumlah penduduk miskin di NTT menurun. Pada Maret 2010 jumlahnya 23,03 persen atau 1,014 juta orang dari total penduduk NTT 4,6 juta jiwa. Pada Maret 2011, jumlahnya 21,23 persen atau 1,012 juta orang. Jadi, dalam setahun, penurun-annya 1.200 lebih orang (Flores Pos Sabtu 2 Juli 2011).

Apakah itu jawabannya? Tidak. "RTM" dan "penduduk miskin" itu dua entitas berbeda. Kriterianya pun berbeda. Maka, kalaupun 1.200 lebih orang NTT yang bukan lagi penduduk miski itu adalah warga Matim, tidak serta merta Matim bebas dari RTM. Jadi?

Tidak diurusnya raskin oleh 75 desa di Matim bukan karena desa-desa itu sudah tidak punya RTM. Tapi, karena ke-75 desa seolah-olah tidak punya kades lagi. Semestinya raskin diurus kades tiap bulan. Yang terjadi, raskin menumpuk hingga 6 bulan di Bulog. Kalau saat diambil berasnya lapuk, ya, jangan heran.

Mempersalahkan kades saja tentu tidak tepat. Pengambilan raskin itu tidak gratis. Pengangkutannya ke desa-desa pun tidak cuma-cuma. Sangat boleh jadi, desa-desa kurang atau tidak miliki dana. Pada banyak kasus di Flores, karena tidak ada dana, kades bekerja sama dengan pihak ketiga. Raskin pun habis terbeli. Bukan oleh RTM, tapi oleh pengusaha. Selanjutnya, kades berurusan dengan hukum.

Kesulitan makin terasa ketika mekanisme penyaluran raskin diubah oleh pemerintah pusat. Uang tebusan harus dibayar di muka. Dulu uang bisa dibayar tujuh hari setelah terima beras (H+7). Sekarang tidak lagi. Harus dibayar satu hari sebelum terima beras (H-1). Maka, desa harus bayar dulu dana talangan.

Yang jadi soal, desa ambil uang dari mana? Andalkan alokasi dana desa (ADD)? Seringkali jumlahnya tidak memadai. Kalau ini jalannya maka tidak ada cara lain: ADD ditambah. Atau, pemkab anggarkan khusus dana talangan bagi desa guna membeli raskin. Tanpa kebijakan seperti ini, desa akan terus-menerus kekurangan dana. Penyaluran raskin pun akan selalu tersendat-sendat.

Bagi Matim, ini tidak mudah. Kabupaten ini relatif masih baru. Usianya baru jelang empat tahun, sejak terbentuk 17 Juli 2007. Banyak hal yang perlu dibangun dan dibenah. Di sisi lain, dana begitu terbatas. Itu kenyataan. Tapi, RTM juga kenyataan, bukan? Raskin sangat dibutuhkan RTM juga kenyataan, bukan?

Terhadap kenyataan satu ini, dalih keterbatasan dana tidak pantas dipakai. Itu hanya cocok untuk pembangunan fisik, yang karena terbatasnya anggaran mau tidak mau harus dilakukan bertahap. Tidak untuk orang yang sedang butuhkan makanan. Sebab, tidak makan ya lapar. Ujung-ujungnya mati.

”Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Juli 2011

Tidak ada komentar: