Kasus Tambang Mangan di Satarteu
Frans Anggal
Kelompok 8 Satarteu, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), mendatangi pemkab di Borong, Senin 25 Juli 2011. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kesepakatan 17 Januari 2011. Tentang ganti rugi lahan mereka yang ditambang PT Aditya Bumi Pertambangan (Flores Pos Selasa 26 Juli 2011).
Penambangan mangan oleh PT ABP dilakukan hanya berdasarkan izin pemkab. Tanpa izin dari masyarakat Satarteu selaku pemilik lahan. Masyarakat persoalkan ini. Maka lahirlah kesepakatan pemkab dengan masyarakat yang diwakili Kelompok 8, pada 17 Januari 2011.
Isi kesepakatan. (1) Masyarakat minta ganti rugi dari PT ABP senilai Rp1 miliar per bidang untuk penambangan 20 tahun. (2) Pemkab akan panggil PT ABP untuk bertemu warga, dua minggu sesudah pertemuan 17 Januari 2011. (3) Pemkab dan JPIC fasilitasi pertemuan antara Kelompok 8 dan PT ABP.
Hari-H tiba. Yang dijanjikan tidak tiba. Pemkab baru panggil PT ABP pada 16 Februari 2011. Selain jauh melampaui hari-H, pemanggilan ini tidak diberitahukan ke warga dan JPIC. Jadilah pertemuan 16 Februari itu sekadar pertemuan PT ABP dan pemkab. Hasilnya pun tidak diinformasikan kepada warga dan JPIC. Ini yang membuat Kelompok 8 kecewa. Mereka meminta pertanggungjawaban pemkab. Mereka tidak akan kembali ke Satarteu sebelum persoalan ini tuntas.
Apa yang terjadi di ini? Pertama, pemkab melanggar kesepakatan. Tenggat dua minggu setelah 17 Januari itu dibuatnya menjadi enam bulan. Tugas mempertemukan PT ABP dengan warga diubah menjadi pertemuan PT ABP dengan pemkab. Kedua, pemkab tidak transparan. Tundanya pertemuan tidak diberitahukan kepada warga dan JPIC. Begitu juga pertemuan 16 Februari dan hasilnya.
Dalam tujuh bulan setelah 17 Januari, dua kali kadis pertambangan dan energi turun ke Satarteu. Mendekati warga. Berbicara dengan warga. Tapi tidak sedikit pun menyinggung apalagi menyampaikan secara lengkap, jelas, dan tegas tentang semua yang telah terjadi. Kuat terkesan, pemkab berubah sikap.
Pertanyaan kita: ada apa dengan pemkab? Mengapa berani melanggar kesepakatan? Mengapa tidak transparan? Faktor apa yang mendorongnya menjilat ludahnya sendiri, dan menjadi begitu tertutup?
Patut dapat diduga, pemkab sudah didikte. Kesepakatan memanggil PT ABP untuk dipertemukan dengan warga tentulah memberatkan PT ABP. Sebab, forum itu forum warga menuntut ganti rugi. PT ABP tidak mau rugi. Maka, menghindar. Caranya, tunda pelaksanaan dan bikin tidak jelas semua kesepakatan pemkab dengan warga. Untuk itu, pihak yang paling mudah didekati adalah pemkab. Bukan warga. Pemkab gampang didikte. Ibarat kerbau dicocok hidung.
Di sisi lain, penundaan pelaksanaan dan pengaburan kesepakatan itu turut meluputkan pemkab dari tanggung jawab. Sebab, pada forum itu semua hal pasti dibongkar. Termasuk kecerobohan pemkab memberi izin menambang meski tanpa izin warga pemilik lahan. Borok ini mau disembunyikan. Caranya, tunda pelaksanaan dan bikin tidak jelas semua kesepakatan dengan warga.
Ini sandiwara besar. Sandiwaranya Pemkab Matim. Tapi sandiwara ini sandiwara konyol. Sebab, adegan di balik layarnya mudah ditebak. Kita mendesak pemkab: hentikan semua kepura-puraan. Beranilah untuk jujur. Pertemuan para pihak, itulah tempatnya. Maka, segeralah menjawdal ulang pertemuan. Taati jadwal itu dan semua agenda yang telah disepakati.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar