Menyoal Skala Prioritas Pembangunan
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) akan segera miliki gedung olahraga (GOR) di ibu kota Labuaan Bajo. Gedungnya sedang dibangun di atas lahan kurang lebih 1 ha dari total 6 ha. Berukuran 28 x 38 meter persegi. Menelan biaya Rp5 miliar, dari APBN Dipa Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun anggaran 2011. Pembanganannya harus tuntas tahun 2011, kata Kadis Pendidikan dan Olahraga Mabar Adrianus Durhaman (Flores Pos Jumat 8 Juli 2011).
Ini berita gembira. Dalam dunia olahraga, stadion atau minimal GOR itu unsur penting. Semakin besar ukurannya, semakin besar daya tampungnya. Melalui tarif yang dipungut, penggunaan atau penyelenggaran kegiatannya dapat menggemukkan pundi-pundi daerah. Ini semua akan mendukung kemajuan dunia olahraga.
Itu cakaran di atas kertas. Kenyataannya bisa meleset. Contoh, Stadion Golo Dukal di Kabupaten Manggarai. Dibangun 2005 dengan dana APBD miliaran rupiah. Daya tampung 10 ribu penonton. Dengan daya tampung sebesar ini, seberapa besar sumbangannya bagi pundi-pundi daerah? Seberapa besar pula kemajuan dunia olahraganya?
Jawabannya dapat tergambar. Terbetik berita, Stadion Golo Dukal sudah beralih fungsi jadi tempat mesum (Timor Express Jumat 20 Mar 2009). Sejumlah fasilitasnya rusak. Tembok kamar penuh coretan. Toiletnya bau busuk. Air pipa tidak mengalir. Tidak ada perawatan. Dibiarkan begitu saja.
Ini pemubaziran aset daerah. Sumbangannya bagi pundi-pundi daerah dipertanyakan. Demikian pula dampaknya bagi kemajuan olahraga. Stadionnya wah, prestasi olahraganya parah. Menuju nasib yang samakah GOR di Mabar? Pertanyaan ini makin penting karena, menurut rencana, selain lapangan sepakbola, akan dibangun wisma atlet, gelanggang renang, lapangan futsal, dll.
Pembangunan dan pemubaziran aset daerah yang tidak vital semakin menyakitkan apabila, di sisi lain, yang lebih vital bagi hajat hidup orang banyak justru tidak diperhatikan. Di Mabar, itu adalah fasilitas air bersih. Beberapa bulan terakhir air di Labuan Bajo tidak keluar (Flores Pos Rabu 6 Juli 2011).
Labuan Bajo itu pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, dan pariwisata. Pariwisata bahkan dijadikan leading sector. Bisa dibayangkan ambu¬radul¬nya kota pariwisata yang berbulan-bulan dilanda krisis air bersih. Ini terjadi hingga di bandara, gerbang masuk pariwisata.
"Mengenai ketersediaan air di Labuan Bajo, saya punya pengalaman," tulis Ronsi B Daur di Face Book, menanggapi “Bentara” Flores Pos Kamis 7 Juli 2011. "Saat turun dari pesawat, saya bergegas ke kamar kecil. Di pintu WC banyak yang antre. Selang berapa lama, antrean begitu panjang cepat berlalu. Raut wajah setiap orang yang keluar dari kamar WC hampir sama: kelihatan ada rasa mual .... Saya pun tidak jadi buang air kecil (karena tidak ada air)."
Itu di bandara. Bagaimana di GOR nantinya? GOR akan menjadi gedung jorok. Demikian pula wisma atletnya. Lalu, untuk gelanggang renangnya, ambil air dari mana? Mungkin menyuling air laut. Nah, kalau untuk itu ketersediaan air dipikirkan, kenapa tidak untuk kebutuhan harian warga Labuan Bajo?
Mungkin akan dijawab, ini kan pakai dana APBN, bukan dana APBD. Itu benar. Tapi, dalam penggunaan dana APBD pun, skala prioritas itu tidak tampak. Bayangkan, untuk bangun pagar dan halaman parkir gedung DPRD, APBD 2011 siapkan Rp2 milliar lebih. Dan, DPRD-nya tenang-tenang saja. Rupanya juga senang-sanang saja. Hmmm.
”Bentara” FLORES POS, Senin 11 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar