Rekelame Pestisida di Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Pohon sepanjang jalan di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur (Matim) ditempeli reklame pestisida. Tidak terkecuali di kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam (TWA) Rana Mese (Matim) dan TWA Golo Lusang (Manggarai). Ini mengundang protes masyarakat, khususnya pencinta lingkungan hidup. Mereka mendesak reklame dicabut dan para pelaku diproses hukum (Flores Pos Selasa 12 Juli 2011).
"Atas izin siapa mereka lakukan itu? Saya protes. Reklame ini bertentangan dengan semangat konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Sekarang masyarakat dianjurkan tidak menggunakan sarana produksi berbahan kimia," kata Rofino Kant. Ia pencinta lingkungan.
"Mereka tidak bertanggung jawab. Reklame pestisida ditempelkan begitu saja di pohon-pohon. Di tengah hutan konservasi lagi. Ini bertentangan dengan upaya melestarikan lingkungan dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia," kata Petrus Enggong. Ia sedang menikmati panorama sekitar danau Rana Mese.
"Obat Rumput, ROUNDUP, 486 SL, HANDAL DAN TAHAN HUJAN". Begitu bunyi sebuah papan reklame yang ditempel (baca: dipaku) pada pohon di kawasan hutan lindung Rana Mese. Ukuran, jenis, dan warna hurufnya eye catching. Mencolok menyedot perhatian. Membuat para pelintas sulit untuk tidak menoleh sejenak dan membacanya.
Karenanya, sulit dipercaya juga pejabat pemkab dan petugas TWA tidak membacanya. Lagi pula, ini bukan yang pertama. Dan, sesungguhnya tidak hanya di Manggarai. Pohon sepanjang jalan negara lintas Flores adalah pohon reklame sarana produksi (saprodi) kimiawi. Kali ini ROUNDUP. Sebelumnya, saprodi lain. Sesudahnya, entahlah.
Jadi, pejabat dan petugas bukannya tidak tahu. Mereka tahu, tapi tidak mau tahu. Mereka tahu, pemakuan reklame pada pohon itu merusak pohon. Mereka tahu, itu melanggar aturan. Mereka tahu, dengan cara itu tukang reklame mau cari gampang. Tidak minta izin dan tidak bayar pajak. Tahu, tapi masa bodoh. Mereka bersikap indiferen. Tidak peduli. Cuek.
Sikap ini sangat berbahaya. Apalagi kalau ini sikap mayoritas masyarakat juga. Sikap mayoritas yang diam akan sangat menguntungkan minoritas pencari untung. Dalam kasus ini, segelintir produsen, agen, dan pengecer saprodi. Diamnya pejabat, petugas, dan masyarakat dianggap sebagai restu. Maka, reklame di pohon pun jalan terus.
Pada tahun-tahun sebelumnya, reklamenya berupa stiker. Dilekatkan pada pohon sepanjang jalan. Pejabat dan petugas hanya diam. Diam dianggap sebagai restu. Belakangan, dengan "restu" itu, reklame "naik pangkat", dari stikter ke papan. Papan tidak bisa dilekatkan ke pohon. Maka harus dipakukan. Mula-mula di luar kawasan hutan lindung. Pejabat dan petugas hanya diam. Sekarang dalam kawasan hutan lindung. Eh, pejabat dan petugas juga hanya diam. DPRD? Sama saja. Hanya diam.
Utang masih ada segilintir elemen masyarakat. Mereka melihat adanya ketidakberesan ini, seperti yang juga dilihat para pejabat dan petugas. Bedanya, mereka tidak mendiamkannya. Mereka angkat bicara. Mengajukan protes. Menuntut penanganan segera. Protes mereka diwartakan media.
Kita mau lihat, apa yang terjadi setelah protes dan tuntutan itu diwartakan. Apakah para pejabat dan petugas tetap diam? Kalau mereka tetap diam, harap maklum. Mereka tertidur. Lelap, karena kebesingan. Kenyang, karena telah disuap. Ck, ck, ck.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar