Oleh Frans Anggal
Salah satu tantangan serius Indonesia tahun ini adalah disintegrasi. Belum terlupakan, peristiwa heboh tahun lalu. Bendera Republik Maluku Selatan (RMS) berkibar di depan presiden di Maluku. Begitu juga, bendera Bintang Kejora muncul dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua. Ribuan orang hadir berteriak 'Merdeka ...!'Masalah disintegrasi dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, kekejian dan ketidakadilan penguasa. Kini, mayoritas rakyat hidup dalam impitan berbagai kesulitan. Otonomi daerah hanya mengalihkan korupsi dari pusat ke daerah. Kedua, ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, bertemulah mereka dengan gagasan HAM, kebebasan, otonomi daerah, dan lain-lain yang dipandang sebagai penyelamat. Ketiga, adanya campur tangan dunia internasional.
Yang paling serius saat ini adalah kasus Papua. Berawal dari UU No.11 Tahun 1967 tentang pertambangan asing. UU ini menjadi alat utama bagi perbudakan yang dilakukan sejumlah aset internasional di Papua. Betapapun penjarahan aset rakyat tampak mengerikan, negara dari kepemimpinan lima presiden tidak memihak pada penyelesaian masalah. Negara menikmati pertumbuhan dari harta dan nyawa penduduk pemilik ulayat.
Soeharto selama 32 tahun menganakemaskan Freeport dan menganaktirikan orang Papua. Reformasi 1998 tak banyak mengubahnya. Rezim takluk di bawah kedaulatan kapitalis. Megawati mengizinkan perusahaan gas British Petroleum beroperasi di Bintuni, setelah terjadi penggusuran masyarakat agar mengungsi ke tempat lain. Susilo Bambang Yudhoyono kembali memihak Freeport dengan menempakan satuan-satuan militer bagi pertahanan keamanan di Freeport, dan kembali memihak Freeport dengan menyatakan Freeport tidak tutup (Maret 2006).
Syukurlah, kasus Papua mendapat perhatian internasional. Isu yang selalu mendapat sorotan adalah masalah HAM. Utusan khusus Sekjen PBB urusan HAM, Hina Jilani, datang ke Aceh dan Papua, seraya mengatakan, "Saya tunggu reaksi pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM" (15/6/2007). PBB pun mengirimkn 'pelapor khusus', Manfred Nowak, ke Indonesia untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan 'penyiksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan hukum'. Rekomendasinya dilaporkan ke Dewan HAM PBB. Sampai akhir 2007 ia telah mengeluarkan 13 ’rekomendasi’.
Pada 5 Juli 2007, saat berada di Jakarta, Ketua Subkomite Asia Pasifik Kongres AS, Eni Faleomavaega, mengatakan, "Saya memang pernah katakan, kalau pemerintah Indonesia tidak bisa perlakukan Papua secara layak, berikanlah kemerdekaan. Saya tidak mengingkarinya." Inilah sesungguhnya kunci penyelesaian masalah. Memperlakukan daerah secara layak. Jakarta harus bertobat.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 4 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar