Oleh Frans Anggal
Berita halaman depan Flores Pos, Rabu 14 Februari 2007, menyedihkan. Warga Pasir Putih di Lembata makan ubi hutan; Enam desa terpencil di Solor Timur tidak punya bidan desa; Tiga penderita HIV/AIDS dirawat di RSUD Bajawa. Kalau ketignya menyedihkan maka yang satu ini menyakitkan: DPRD Ende minta repel dibayar.
Di tengah bencana kekeringan, gagal tanam, gagal panen, dan kelaparan di Flores-Lembata, begitu teganya DPRD Ende tidak peka dengan derita masyarakat. Selain tidak peka, juga terlampau legalistis. Cuma karena sudah ada perda maka rapel harus dibayar. Padahal perda itu didasarkan pada PP 37/2006 yang sekarang justru sedang direvisi.
PP 37/2006 lahir dari desakan elite Asosiasi DPRD terhadap pemerintah pusat. Seluruh prosesnya tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat. Ini bertentangan dengan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mensyaratkan partisipasi publik. Yang paling kontroversial dari PP itu justru apa yang sedang didesakkan DPRD Ende yakni rapel. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional dibayarkan mundur sejak 1 Januari 2006.
Dari isi dan prosesnya, PP No 37/2006 adalah sebentuk korupsi karena mengandung perbuatan melawan hukum, memperkaya orang lain, dan merugikan keuangan negara.
Melawan hukum, karena banyak ketentuan dalam PP itu yang bertentangan UU dan PP lain. Rapel, misalnya, bertentangan dengan UU 10/2004 yang mengatur bahwa penentuan daya laku surut tidak diadakan bagi peraturan yang memberi beban pada masyarakat. Memperkaya orang lain, karena oleh PP itu anggota DPRD semakin kaya. Merugikan keuangan negara, karena terbukti banyak PAD dan APBD terpakai untuk rapel. Delik korupsinya kian jelas karena di banyak daerah, kemampuan keuangan daerah dan beban tugas tidak dijadikan dasar penentuan besarnya tunjangan. Sementara itu, sebagaimana juga terjadi di Ende, penyusunan perda APBD yang mendasari pembayaran rapel dilakukan secara kilat, tanpa melibatkan masyarakat.
Proses pembuatan PP 37/2006 itu sendiri sudah konspiratif. Isinya pun koruptif. Maka sebetulnya tidak layak dipertahankan, harus dicabut, bukan sekadar direvisi. Presiden mempunyai hak prerogatif mencabut PP yang dikeluarkan. Hanya dengan sikap tegas seperti ini presiden menyelamatkan DPRD dari kemungkinan terperosok pada jebakan korupsi, juga menyelamatkan uang rakyat.
Mengherankan kita, DPRD Ende begitu ngotot dengan rapel hanya karena sudah ada perdanya. Sangat legalistis dan sempit. Mereka mengabaikan dasar dari perda itu yakni PP 37/2006 justru rapuh dari segi hukum dan moral. Kita berharap DPRD Ende menyadari hal ini.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 15 Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar