Oleh Frans Anggal
Empat murid SDK Gapong di Manggarai tertimbun tanah saat membersihkan reruntuhan tanah di samping rumah guru. Mereka melakukan pekerjaan ini usai jam sekolah, disuruh oleh istri kepala sekolah. Orangtua murid marah besar karena anak mereka dijadikan pekerja. Malah ada yang disuruh tidur di sekolah. Kasus ini menyingkapkan penuturan orangtua murid bahwa di SDK Gapong, kegiatan belajar-mengajar hanya 20 persen, selebihnya 80 persen anak-anak dipekerjakan untuk kepentingan sekolah dan guru.
Peristiwa ini bisa dibilang mengejutkan karena terjadi tak berselang lama setelah Gapong ditimpa bencana tanah longsor yang menghilangkan puluhan jiwa dan harta benda. Dalam peristiwa yang dukanya masih sangat membekas itu, penyebab terjauhnya adalah pembabatan hutan lindung. Gundulnya hutan mengakibatkan air curahan langit dengan mudah melongsorkan tanah hingga membawa petaka bagi siapa dan apa saja yang tertimbun.
Bencana mengerikan itu belum lenyap dari ingatan warga, kini terjadi lagi bencana lain. Empat murid SD tertimbun tanah. Akarnya bukan pembabatan hutan, tetapi ‘pembabatan ‘ hak-hak murid. Mereka yang semestinya berhak atas pembelajaran di sekolah tidak sepenuhnya dilayani hak-haknya, tetapi malah sebaliknya dipekerjakan sebagai buruh cilik oleh pihak sekolah dan guru.
Bila dicermati lebih jauh, rasa-rasanya ada hal yang sangat mengkhawatirkan yang sedang terjadi pada masyarakat kita, khususnya dalam cara memandang dan memperlakukan alam (hutan) dan manusia (anak-anak). Alam khususnya hutan dipandang sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan tanpa tanggung jawab akan pelestariannya. Manusia apalagi anak-anak dilihat sebagai sumber daya yang perlu difungsikan tanpa penghormatan akan hak-hakanya sebagai anak. Maka: hutan dikuras, anak-anak diperas. Hasilnya sama: bencana.
Tempo hari, hutan lindung di Gapong dikuras, lahirlah bencana tanah longsor yang melenyapkan nyawa dan harta . Kini, murid-murid SDK-nya diperas tenaganya oleh sekolah, terjadilah kasus yang nyaris menelan korban jiwa. Kasus ini akhirnya menguakkan semua praktik buruk yang telah berlangsung lama di SDK Gapong, yakni praktik memeras tenaga murid, bukan hanya untuk kepentingan sekolah tetapi juga untuk kepentingan pribadi para guru.
Kita berharap kasus Gapong menjadi titik awal bagi Pemkab Manggarai melakukan penertiban dan pembinaan. Ditengarai, praktik serupa tidak hanya terjadi di SDK Gapong. Khusus bagi Yayasan Sukma yang membawahkan semua sekolah Katolik di Manggarai, kasus SDK Gapong layak menjadi tamparan. Sejauh mana nilai-nilai Katolik meresap pada sekolah yang menyandang atribut “Katolik”?
"Bentara" FLORES POS, Senin 12 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar