Oleh Frans Anggal
Mahasiswa kota Ende yang tergabung dalam Barisan Gerakan Demokrasi (Brigade) berunjuk rasa menolak rencana militer membangun korem/batalyon di Flores, Lembata, dan Sumba. Menurut mereka, masyarakat lebih membutuhkan pendidikan, kesehatan, dan kesejahtaraan, bukan korem atau batalyon. “Pendidikan dan kesehatan gratis serta ketahanan pangan adalah benteng kokoh kedauatan rakyat,” tulis mereka pada spanduk.
Apa yang disuarakan para mahasiswa sesungguhnya sudah lama menjadi kesadaran masyarakat Flores-Lembata, sejak mereka menolak pemindahan Korem dari Dili ke Flores pasca-jajak pendapat 1999. Masyarakat pulau ini sudah semakin cerdas dan berani menyuarakan apa yang mereka butuhkan. Mereka tak membutuhkan tentara. Mereka membutuhkan pendidikan dan kesehatan serta ketahanan pangan yang kukuh. Untuk memenuhinya, tak perlu pakai tentara. Sementara itu, dari banyak pengalaman pada banyak tempat di negeri ini, kehadiran tentara dalam jumlah yang besar justru membuat kehidupan masyarakat tidak aman. Aceh dan Papua telah bercerita banyak.
Kita harus jujur mengakui kenyataan ini. Dalam cakupan lebih luas, sejarah dunia membuktikan pula bahwa bangsa yang mampu adalah bangsa yang tradisi sipilnya kuat. Amerika Serikat beruntung punya seorang pemimpin militer pertama yang menjadi presiden, George Washington, yang kemudian dengan sukarela menolak dicalonkan kembali demi memulai tradisi kepemimpinan sipil. Bandingkan dengan Mexico yang lama sekali didominasi oleh militer. Dalam waktu singkat, Mexico yang awalnya lebih maju daripada Amerika Serikat, akhirnya mundur menjadi salah satu negara dunia ketiga, gara-gara dipimpin para jenderal.
Indonesia awalnya bagus, didirikan dengan kekuatan diplomatik, bukan kekuatan bersenjata. Kekuatan bersenjata hanyalah simbol, sedangkan letak kekuatan sebenarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi opini dunia, sehingga dengan cepat Indonesia mendapat pengakuan. Kita harus jujur mengakui, yang mengusir Belanda dari Indoesnia bukan bedil tapi mulut Soekarno, juga kerja keras diplomasi Syahrir, Hatta, dan para politisi lainnya. Atau, yang mengusir Indonesia dari Timtim bukan senjata tapi keunggulan diplomasi Ramos Horta dkk. Kemampuan setara dimiliki Ali Alatas menlu RI kala itu yang cemerlang berbicara di forum internasional. Tapi? Semua perjuangan diplomasi tingkat tinggi dan gigih itu hancur berantakan karena pelanggaran HAM yang dilakukan militer.
Orang Flores tahu apa yang sangat mereka butuhkan dan apa pula yang pantas mereka cemaskan. Jadi, kalau mereka menyatakan menolak korem atau batalyon, itu bukan karena mereka bodoh. Mereka hanya inginkan hidup sejahtera, aman, dan damai.
"Bentara" FLORES POS, Senin 21 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar