Oleh Frans Anggal
Dikusi bulanan Dian/Flores Pos bertajuk “Pemanasan Global, Respon Lokal” dinilai sebagai awal yang baik bagi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang diakibatkan deforestasi (penghilangan) dan degradasi (peruskaan) hutan di Flores-Lembata. Seorang peserta membuat analogi, “Diskusi hari ini ibarat lilin yang mulai dibakar. Jadi, tak perlu buru-buru menerangi ruangan. Kita temukan dulu pokok keprihatinan, lalu apa yang harus dibuat.”
Diskusi menemukan, untuk konteks Flores-Lembata, penyebab utama gas emisi yang menyumbang pada pemanasan global adalah penghilangan dan perusakan hutan serta perilaku pertanian. Secara nasional pun kurang lebih sama. Penyebab utamanya adalah deforestasi termasuk konversi lahan gambut dan hutan serta kebakaran hutan. Karena itu, diyakini Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.
Sebenarnya, kesadaran sudah ada pada tingkat pengambil kebijakan di pusat dan di daerah. Yang menjadi soal adalah kita belum menemukan mekanisme yang responsif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca itu yang disadari dapat mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Karena itu pula, sejauh ini kita belum memiliki tindakan pencegahan yang sungguh-sungguh di level nasional dan lokal yang seiring sejalan dengan inisiatif internasional.Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 1994 dan Protokol Kyoto pada 2004 yang diadopsi oleh UU No 17/2004. Berangkat dari ratifikasi ini Indonesia telah melakukan sesuatu dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Sebuah contoh penting adalah dibentuknya institusi nasional untuk mengatur ‘’mekanisme pembangunan bersih” (MPB). Jika difungsikan secara efektif dan fungsional, MPB dapat mengurangi emisi gas di negara ini sampai 23-24 ton per tahun. Demikian hasil studi strategi nasional 2001/2002 yang menganalisis pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan.
Yang menjadi kelemahan kita adalah strategi yang implementatif dan tindakan nyata pada beberapa sektor penting. Kenyataannya hingga saat ini belum ada koodinasi antar-sektor yang komprehensif untuk selaras dengan Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Padahal, sudah terbukti Indonesia salah satu negara yang rentan akan perubahan iklim ekstrem akibat pemanasan global yang dipicu emisi gas rumah kaca.
Kalau pusat sudah amburadul begini, apa yang bisa diharapkan dari daerah yang meski sudah otonom tapi masih juga bermental proyek serta miskin inovasi dan kreasi? Di sinilah perlunya keterlibatan banyak pihak. Untuk konteks Flores-Lembata, peran Gereja, LSM, dan media massa sangat dibutuhkan. Perlu dibangun kerja sama, termasuk dan terutama dengan pemerintah selaku regulator dan pengelola budget.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 21 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar