17 Februari 2009

Penyamun di Sarang Walet

Oleh Frans Anggal

Kegiatan survei sarang burung walet di kawasan Taman Nasional Komodo akhirnya dihentikan. Alasannya, telah terjadi penyimpangan. Terbukti, survei berjalan bersamaan dengan pencurian sarang walet, sebanyak 25 kg. Survei dilakukan sebuah rekanan, mitra Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat. Penghentian diputuskan dalam rapat antara DPRD, Dinas Kehutanan, dan Balai Taman Nasional Komodo.

Mengerikan. Tapi itulah Indonesia. Mensurvei sekaligus mencuri. Kegiatan ilmiah bisa seiring sejalan dengan tindak pidana. Pada banyak kasus lain juga seperti itu. Melayani masyarakat sekaligus makan uang rakyat. Mengadili perkara sekaligus menerima sogokan. Menertibkan lalu lintas sekaligus memeras pengemudi. Menjaga hutan sekaligus mencuri kayu sitaan. Negeri ini penuh pencuri. Kebanyakan pencuri berdasi. Inilah negeri kleptokrasi.

Istilah kleptokrasi diperkenalkan oleh Stanislav Andreski (1966) berdasarkan pengamatannya di Amerika Latin. Kleptokrasi diambil dari kata kleptomania, yaitu penyakit kejiwaan gemar mencuri tanpa merasa bersalah. Kleptokrasi kemudian diartikan sebagai birokrasi yang sarat dengan korupsi dan penggunaan kekuasaan untuk mencari keuntungan secara tidak halal. Dari kata ini, lahir pula istilah kleptokrat, yaitu orang-orang birokrasi (birokrat) yang suka mencuri.
Mensurvei sekaligus mencuri sarang walet di Taman Nasional Komodo menggambarkan kleptokrasi juga. Bahwa dalam kegiatan berbau ‘ilmiah’ saja orang sudah gampang mencuri, apalagi dalam urusan ‘non-ilmiah’ mengelola keuangan negara oleh para kleptokrat.

Sarang walet mahal harganya, belasan juta rupiah per kilogram. Susah pula didapat karena produksinya di Indonesia menurun drastais hingga 50 persen. Sudah mahal, langka pula, dan kini ada di depan mata. Nafsu kleptomania muncul, etika survei dicampakkan. Mumpung ada kesempatan, sambil menyelam minum air, sambil mensurvei mencuri sarang walet. Pencurian 25 kilogram. Kalau sekilo Rp13 juta maka hasil curian itu Rp325 juta.

DPRD Manggarai Barat, Dinas Kehutanan, dan Balai Taman Nasional Komodo duduk berembuk membahas kasus ini. Keputusan yang diambil sangat tepat. Survei dihentikan. Dinas Kehutanan ikut bertanggung jawab secara moril. Dinas ini keliru menunjuk rekanan, juga lalai melakukan pengawasan. Ini juga gambaran umum wajah kleptokrasi kita. Penunjukan rekanan sering tidak didasarkan pada seleksi yang cermat dan objektif. Yang paling banyak setor ke kantong saya atau yang paling dekat hubungannya dengan saya, dialah yang menang. Ini proyek negara, pakai uang negara, mari kita naikkan harga agar semakin banyak yang masuk ke kantong kita. Siapa takut? Masa pencuri mengadili pencuri? Ini negeri para kleptokrat. Negeri para penyamun di sarang walet.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 23 November 2007

Tidak ada komentar: