Oleh Frans Anggal
Masyarakat Sikka diresahkan dengan isu pemenggalan kepala 1.200 anak oleh orang-orang tak dikenal untuk kepentingan sumur Lapindo. Cepat atau lambat, isu serupa akan muncul di kabupaten lain di Flores-Lembata.
Sebelum sampai di Flores, isu seperti ini sudah beredar di Kalimantan awal Januari. Isu menguat ketika seorang wanita, Latifah, ditemukan dalam kondisi terpenggal kepalanya di Desa Mampai, Kecamatan Kapuas Murung, Kapuas, Kalteng. Polisi telah menangkap pelakunya. Motifnya, masalah pribadi, tidak ada kaitan dengan sumur Lapindo. Penangkapan ini sekaligus menjawab keresahan warga yang mengait-kaitkan kematian Latifah dengan isu ngayau (tumbal dengan penggal kepala) yang memang sedang merebak di masyarakat.
Isu tumbal kepala anak-anak untuk sumur Lapindo jelas merupakan kebohongan besar. Isu seperti ini sengaja diciptakan dengan tujuan tertentu. Ada dua kemungkinan, sekaligus perbedaan antara dulu dan sekarang.
Dulu, isu penggal kepala dilahirkan oleh masyarakat sendiri sebagai alat pertahanan komunitas untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah berlangsung dan terpelihara sekian lama. Dalam konteks ini, isu itu jangan dibaca lurus tapi harus ditafsirkan maknanya. Orang Manggarai mengenal mitos empo dehong atau gorak, orang Ende dan Flores Timur mengenal merenggele, dst.
Sekarang ini, isu penggal kepala sengaja ditebarkan untuk menciptakan saling curiga dan pada gilirannya melahirkan konflik horizontal dalam masyarakat. Pihak yang memainkan isu akan mengail di air keruh, memetik manfaat dari daerah konflik. Dalam hal ini, konflik dijadikan proyek untuk mendatangkan keuntungan baik bagi personel maupun institusi tertentu.
Belajarlah dari kasus pembunuhan dengan isu dukun santet di Banyuwangi 1998 silam. Tim Pencari Fakta DPR mencatat, sejak Januari hingga Oktober 1998 telah tewas 85 orang. Pelaku pembunuhan adalah aktor intelektual peserorangan dan terorganisir, penyandang dana, provokatur, dan eksekutor. Latar belakang penyandang dana adalah pertikaian pribadi, balas dendam, pertikaian keluarga, ataupun perebutan jabatan kepala desa. Motivasi eksekutor adalah hasutan, balas dendam, dan dibayar. Kasus pembunuhan terjadi di Banyuwangi (50 kasus), Jember (17 kasus), dan Pasuruan (18 kasus). Yang mati karena aksi massa 51 orang, karena diduga ninja 23 orang, oleh orang tidak dikenal 7 orang, tidak jelas 1 orang, dan bunuh diri 3 orang.
Kita tak mau seperti Banyuwangi. Karena itu, jangan percaya isu, jangan sebarkan isu, laporkan penebar isu kepada pihak berwajib.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 31 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar