Mempersoalkan Surat Jaminan Kasus Buron
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, seorang tersangka kasus pencurian melarikan diri dari sel mapolres. Polisi cari, tidak ketemu. Polisi dapat akal. Tengah malam, ayah dan ibu si buronan diangkut ke mapolres. Mereka dipaksa menandatangani surat jaminan. Isinya: jika anak mereka tidak ditemukan atau tidak menyerahkan diri maka mereka sebagai orangtua akan masuk sel.
Jangankan pakai ilmu hukum, pakai akal sehat saja sudah jelas, betapa sembrononya Polres Ngada. Tersangka disel oleh polisi. Dijaga oleh polisi. Ia berada penuh di bawah tanggung jawab polisi. Kalau ia lari, siapa yang salah? Polisi! Si petugas jaga. Bukan orangtua tersangka. Pihak yang bersalah itulah yang bertanggung jawab. Kalau wujud tanggung jawabnya mesti berupa masuk sel, si petugaslah yang masuk, bukan orangtua tersangka.
Secara hukum, jaminan selalu dalam pengertian sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka akan kembali ke persidangan atau membiarkan jaminannya hangus. Biasanya jaminan berupa uang akan dikembalikan pada akhir persidangan jika tersangka hadir dalam setiap persidangan.
Ada yang namanya sita jaminan. Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan. Sitaan tidak untuk dilelang atau dijual, tapi hanya disimpan oleh pengadilan. Dengan penyitaan, tergugat kehilangan kewenangan menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang itu tidak sah dan merupakan tindak pidana.
Yang terjadi di Ngada, tahapannya belum sampai di pengadilan, jaminan sudah dikarang-karang. Jaminan itu pun dipaksakan oleh polisi, bukan atas kehendak bebas orangtua tersangka. Yang dijaminkan pun bukan uang atau barang, tapi manusia, orangtua tersangka. Mengerikan! Manusia disamaderajatkan dengan barang atau benda sebagai jaminan. ‘Penyakit’ khas Indonesia.
Di Indonesia, keluarga sering menjadikan diri jaminan untuk menyertai pengajuan penangguhan penahanan oleh kuasa hukum. Ini salah kaprah. Dasar yuridisnya tidak ada. Tak ada peraturan soal sanksi atas jaminan itu. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Tommy Soeharto. Istri Tommy menjamin suaminya tidak akan melarikan diri. Jaminan berupa surat itu ternyata tidak ada sanksinya ketika Tommy benar-benar melarikan diri.
Atas dasar yang sama, dalam kasus di Ngada, orangtua tersangka pun tidak dapat diberi sanksi meski sudah menandatangani surat jaminan. Menyel mereka sama artinya dengan merampas kemerdakaan. Ini sudah termasuk delik, bukan lagi upaya paksa hukum. Jadi, Polres Ngada, jangan sembrono!
"Bentara" FLORES POS, Rabu 22 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar