Kontroversi Tambang di Flores-Lembata
Oleh Frans Anggal
“Banyak upaya investor agar usaha mereka berjalan. Di antaranya dengan royal memberikan sumbangan, termasuk ke Gereja. Bagi saya, ini bagian dari upaya menjinakkan Gereja dalam menyikapi masalah pertambangan.”
Kata-kata ini dilontarkan George Junus Aditjondro, pembicara pada pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Kata-katanya bikin merah kuping Gereja. Tapi, ini harus dikatakan. Sebagai warga Gereja, ia berhak angkat bicara. Ia pun bicara pada saatnya, sebelum semuanya terlambat.
Aditjondro tidak mengada-ada. Tengoklah Freeport di Papua. Menambang tambaga dan emas sejak 1967 dan menjadi salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Namun, ia juga pemerkosa salah satu ekosistem dunia paling perawan dan hanya memberi sedikit berkah bagi penduduk sekitar.
Ketika kontroversi merebak, Freeport kucurkan jutaan dolar untuk iklan di media massa terkemuka Amerika dan Indonesia. Ia memperbaiki citranya yang tercoreng. Di Indonesia, ia terbitkan majalahnya sendiri, The Nation. Ia punya banyak teman di tempat tinggi. Juga di kalangan akademisi. Ia murah hati memberi jutaan dolar untuk berbagai universitas. Dengan ini, posisisnya tak tergoyahkan. Tak mengherankan, Tom Beanal, kepala suku Amungme di Papua, sampai bilang, di mata Freeport segala bentuk protes dan perlawanan masyarakat lokal tak lebih daripada “hiburan” belaka.
Seandainya Freeport masuk Flores-Lembata, ia akan pakai cara yang sama. Merangkul bupati. Sebab, di era otda, bupati punya kewenangan besar di bidang pertambangan. Merangkul uskup. Sebab, wilayah gerejawi ini mayoritas Katolik, dan Gereja masih dipandang sebagai benteng moral. Sekali jebol, selesai.
Kiita harus akui, gejala ini sudah tampak. “Bentara” Flores Pos edisi Kamis 15 November 2007 pernah menyorot, dalam kontroversi rencana tambang emas Lembata, Gereja lokal justru tidak memiliki posisi jelas. Ini membawa dampak serius. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan jalan masuk bagi investor yang sebelumnya sudah berbulan madu dengan penguasa.
Seorang umat, Yohanes Kia Nunang, pernah kirim SMS. “Saya seorang demonstran yang pernah bersama-sama dengan rakyat Kedang dan Leragere menolak tambang. Tapi saya diintimidasi oleh penguasa Lembata dan preman-preman bayarannya, maka saya pernah hijrah ke Paroki Hokeng, tinggal dengan Pater Pit Nong SVD.” Kisahnya hanya cuplikan kecil dari cerita panjang Flores-Lembata ketika Gereja sudah mulai dijinakkan.
Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.
“Bentara” FLORES POS, Senin 27 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar