Kasus Tanah Eks Sekolah Cina
Oleh Frans Anggal
Para ahli waris tanah eks sekolah Cina (Hua Chiao) mendatangi DPRD Ende. Mereka meminta kepastian dan kejelasan hasil klarifikasi dewan terhadap berbagai pihak tentang pengembalian tanah eks sekolah Cina itu kepada para ahli waris.
Tiga tahun lalu, 6 Mei 2006, mereka datang ke DPRD dengan tujuan yang sama. DPRD beri janji melakukan klarifikisi dengan para pihak terkait. Hasilnya, tak ada tindak lanjut. Habis janji, habis. Sekarang para ahli waris datang lagi. Mereka tagih janji. Tagih kepada para wakil rakyat yang saat kampanye selalu berkoar-koar dengan slogan "Bukan janji, tapi bukti".
Didatangi lagi, DPRD kasih janji lagi. Isinya sama: akan memanggil semua pihak untuk dimintai klarifikasi. Kalau buktinya cukup kuat, begitu kata DPRD, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa syarat. Tapi, lagi-lagi, ini baru janji. Boleh jadi akan jadi janji bohong jilid dua.
Mengklarifikasi, apalagi menyelesaikan kasus ini tidak segampang mengumbar janji. Ada tembok besar di sana. Tembok Pemkab Ende. Pemkablah yang paling bertanggung jawab, selaku pihak yang "de facto" menguasai tanah itu sampai saat ini.
Pasca-tragedi G-30-S, intensitas kerusuha anti-Tionghoa meningkat. Bersamaan dengan tindakan represif militer, terjadilah penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah, toko, sekolah, dan mobil milik etnis Tionghoa. April 1966, semua sekolah Tionghoa ditutup oleh pemerintah Orde Baru.
Di Ende, sekolah Hua Chiao yang terletak di Jalan Pasar itu diambil alih oleh kodim. Selanjutnya digunakan oleh pemkab. Di bawah Dinas P dan K, tanah ini pernah dijadikan lokasi SMEA negeri dan STM negeri. Terakhir, sampai saat ini, disewapakaikan kepada swasta untuk usaha pertokoan.
Yang mengejutkan, tanah ini telah disertifikasi menjadi milik pemkab. Sertifikasi siluman, seperti kerja pencuri di malam hari. Namanya juga kerja diam-diam, maka jangankan membeli, memberi kompensasi saja tidak. Ini perampasan berkedok aturan.
Sampai saat ini Pemkab Ende aman-aman saja.Seolah-olah masih di awal Orde Baru. Padahal, Indonesia sudah berubah. Thn 1998, Presiden Habibie menghapus istilah "pribumi" dan "non-pribumi’. Thn 2000, Presiden Gus Dur menghapus larangan terhadap agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Thn 2001, menteri agama tetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, juga mencabut larangan penggunaan bahasa Tionghoa. Thn 2002, Presiden Megawati mengumumkan mulai 2003 Imlek menjadi hari nasional. Maka, Imlek pun menjadi hari libur nasional, tidak sekadar hari libur fakultatif.
Sudah berubah! Masa, Pemkab Ende masih di masa Orde Baru?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 1 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar