Di Balik Rencana Konservasi Ikan Paus
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Lamalera, Lembata, menolak rencana pemerintah pusat menjadikan Laut Sawu Zona II satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus. Bila ini terlaksana, hancurlah ola nue, tradisi penangkapan ikan paus yang merupakan mata pencaharian satu-satunya masyarakat Lefo Lamalera yang diwariskan turun-temurun.
Yang hancur bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga seperangkat nilai adiluhung. Sudah berabad-abad, ola nue menyangga nilai-nilai budaya yang kemudian berjalin berkelindan dengan nilai-nilai kristiani sejak masuknya agama Katolik di Lembata melalui Lamalera 1886.
Penangkapan paus berlangsung enam bulan, Mei-Oktober. Awal dengan bulan Maria, akhir dengan bulan Maria. Selama enam bulan, Lamalera berkanjang dalam doa rosiario. Sebelum melaut, 27-29 April dibuat upacara adat. Persiapan lahir-batin dan rekonsiliasi. Pada 30 April, sore hari, misa mohon keselamatan bagi arwah semua orang yang meninggal di laut. Pada 1 Mei, misa mohon keselamatan bagi yang akan melaut. Baru keesokan harinya, 2 Mei, mulai melaut. Lima hari seminggu, Sabtu dan Minggu istirahat. Hasil tangkapan dibagikan kepada semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin. Ini luar biasa!
Semua ini terancam punah oleh kebijakan konservasi. Di Indonesia, kebijakan ini mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Begitu terpusatnya, secara sistematis ia memperlemah posisi masyarakat dan meruntuhkan tatanan sosial masyarakat.
Konservasi di Indonsia tergila-gila pada sains. Atas nama sains, segala hal yang tidak berbasis ilmiah dicampakkan. Begitu mutlaknya sehingga semua yang disebut kearifan lokal dan pengetahuan tradisional ditendang buang. Lucunya, di Jepang, negara yang sainsnya begitu maju, sistem pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat masih dipertahankan, berseiring dengan kegiatan perikanan modern. Jepang tidak ahistoris seperti Indonesia.
Konservasi di Indonesia sok ilmiah, akhirnya terjerumus ke "ortodoksi lingkungan" (environmental orthodoxy). Lihat, begitu terjadi kerusakan lingkungan, masyarakat lokal yang miskin yang dipersalahkan. Kalau populasi paus di Laut Sawu menurun, tradisi ola nue di Lamaleralah yang dituding.
Yang tidak dilihat, orang miskin justru sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat mereka bergantung penuh pada lingkungan itu. Mereka pun dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, asalkan tersedia rangsangan dan informasi yang memadai. Ini yang semestinya dilakukan pemerintah, bukan secara sepihak menetapkan wilayah konservasi lalu datang sebagai pembunuh.
Penolakan mayarakat Lamalera sangat bisa dimengerti. Pusat congkak, Lamalera tolak.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar