21 April 2009

Bupati dan “Land Cruiser”

Mempetimbangkan Etika Kepatutan

Oleh Frans Anggal

Sejak dilantik 7 April 2009, Bupati Ende Don Bosco M Wangge belum mau menggunakan mobil dinas Toyota Land Cruiser. Ia khawatir, mobil itu akan disita sebagai barang bukti kasus dugaan korupsi. Namun, setelah berkonsultasi dengan kejaksaan, ia akhirnya menggunakannya juga. Kata jaksa, tidak apa-apa, pakai saja. Nanti, bila proses hukumnya dibuka kembali dan harus disita sebagai barang bukti, barulah mobil itu tidak digunakan.

Kita perlu menguji dasar pertimbangan Bupati Don Wangge. Ia mendasarkan sikapnya pada hukum formal yang direkomendasikan jaksa. Selagi mobil belum dijadikan barang bukti, penggunaannya tidak apa-apa. Pakai dulu sebelum disita.

Sebatas pertimbangan yuridis formal, sikapnya dapat dimengerti. Namun, apakah kasus Land Cruiser semata-mata persoalan yuridis formal? Tidak! Ini persoalan etika juga. Etika kepatutan.

Yang disorot publik selama ini bukan hanya dugaan korupsi pembelian mobil itu, tetapi juga dan terutama ini: patutkah bupati sebuah daerah miskin memakai mobil mewah miliaran rupiah? Publik menilai, pemkab tak punya sense of crisis.

Kala itu, pemerintahan Bupati Paulinus Domi punya alasan. Medan di Ende berat. Jalan buruk. Hanya Land Cruiser yang bisa terobos. Benar. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.

Yang dipersoalkan: kalau jalan buruk yang jadi masalah, mengapa bukan jalannya yang diperbaiki? Kalau jalan diperbaiki, bukan hanya bupati yang mudah ke pelosok, tapi semua orang, dengan semua jenis kendaraan. Rakyat dari kampung pun gampang memasarkan hasil mereka. Dari sisi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Ia hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau hanya untuk itu, mendingan beli helikopter sekalian karena heli tak membutuhkan jalan raya. Pemkab tak punya sense of urgency.

Andaikata Bupati Don Wangge mendasarkan sikapnya pada etika kepatutan, mungkin ia tidak akan menggunakan Land Cruiser. Mungkin mobil itu cukup untuk antar jemput tamu penting. Atau, kalau dibolehkan aturan, dijual. Uangnya untuk perbaiki jalan di desa. Bisa juga buat beli ratusan sepeda motor untuk begitu banyak pekerja lapangan yang selama ini berjalan kaki.

Di sini, sikap tidak menggunakan Land Cruiser menjadi simbol keberpihakan pada kepentingan umum. Patih Gajah Mada pernah bersumpah tidak akan makan palapa sebelum Nusantara dipersatukan. Sumpahnya merupakan ekspresi simbolis sebuah komitmen. Ia menolak kenikmatan di tengah keprihatinan Nusantara yang tercerai-berai.

Bupati Don juga bisa bersumpah seperti itu. Misalnya, tidak akan menggunakan Land Cruiser sebelum semua jalan raya di Kabupaten Ende layak dan bermutu.

“Bentara” FLORES POS, Senin 20 April 2009

Tidak ada komentar: