16 April 2009

Damai di Atas Keadilan

Kasus Kepala Telkom Lewoleba

Oleh Frans Anggal

Kasus Kepala Telkom Lewoleba, Jefta Loak, berakhir. Pelaku ‘perbuatan tidak menyenangkan’ terhadap wartawan Flores Pos Maxi Gantung ini divonis 20 hari penjara. Praktis ia langsung menghirup udara bebas begitu vonis dijatuhkan. Masa hukumannya habis dipotong masa tahanan.

Puaskah Maxi Gantung? Puas untuk satu hal, tidak puas untuk hal lain. Ia tidak puas dengan Polres Lembata. Bayangkan. Pelaku meramas krah baju korban. Korban merasa dipermalukan dan diinjak-injak harga dirinya. Pelaku juga melarang korban menggunakan jasa internet Telkom yang adalah fasilitas umum. Untuk kasus ini, polisi menggunakan pasal tindak pidana ringan (tipiring). Ini namanya menjerat nyamuk pakai tali kerbau. Menjerat untuk meloloskan. Maxi menolak menandatangani BAP. Akhirnya polisi mengganti pasal.

Kalau polisinya main kotor, tidak demikian jaksa dan hakim. Maxi puas, Jefta Loak akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Ia pun dihukum karena perbuatannya itu.

Bahwa putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa, tidak soal. Jaksa menuntut satu bulan, hakim memvonis 20 hari. Korting 10 hari, tidak apa-apa. Begitu juga ketika 20 hari penjara langsung habis dipotong masa tahanan. Artinya, Jefta divonis penjara tetapi secara fisik tidak meringkuk di balik terali besi. Semua itu tidak apa-apa.

Tujuan Maxi memproses hukum kasus ini bukan untuk itu. Bukan untuk menjebloskan Jefta ke penjara. Masuk penjara hanya akibat, sejauh yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Akhirnya memang terbukti. Perbuatan Jefta tidak dapat dibenarkan. Maxi puas.

Secara pribadi, di luar persidangan, Jefta mengakui kesalahannya. Ia mendatangi rumah Maxi untuk minta maaf. Maxi memaafkan. Keduanya berdamai. Hal ini kemudian turut menjadi unsur yang meringankan vonis bagi Jefta. Kendati demikian, Maxi tidak mencabut gugatan. Damai, ya. Proses hukum, jalan terus.

Dengan pilihan itu, Maxi memperhadapkan perasaan kasihan dan perasaan tega di satu pihak (sebagai sifat psikologis) dan perasaan adil dan tidak adil (sebagai sifat moral) di pihak lain. Pilihan yang ia jatuhkan adalah pilihan (sebagai warga) negara hukum. Mendasarkan sikap dan perlakukan pada pertimbangan moral melalui hukum dan pengadilan, bukan pada perasaan yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Ia memenangkan sifat-sifat moral di atas sifat-sifat yang semata-mata psikologis.

Sikap Maxi sebagai pribadi sejalan dengan sikap Flores Pos sebagai lembaganya. Dalam artian tertentu, Maxi itu personifikasi Flores Pos juga, yang menolak kesewenang-wenangan dan segala bentuk premanisme. Kita cinta damai. Tapi damai itu harus dibangun di atas keadilan.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 April 2009

Tidak ada komentar: