Ketika Rektor Bekukan Senat dan Skors Mahasiswa
Oleh Frans Anggal
Mahasiswa Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere mogok makan di depan rektorat. Mereka tolak keputusan Rektor P Wilhelm Djulei SVD yang bekukan pengurus senat perguruan tinggi dan menskors 3 mahasiswa selama 1 tahun.
Awalnya, biaya kuliah kerja nyata (KKN) Rp145 juta. Seluruhnya dibebankan pada 120 peserta KKN. Tiap peserta wajib setor Rp700 ribu. Senat protes. Terlalu mahal. Peruntukannya pun tidak wajar. Biaya yang seharusnya tanggungan yayasan, dibebankan juga pada mahasiswa, seperti honor panitia dan belanja alat tulis kantor. Persoalan ini tak terselesaikan dengan baik oleh panitia. Di bawah senat, mahasiswa pun gelar orasi di halaman kampus. Menanggapi aksi, rektor terbitkan SK tentang pedoman pelaksanaan organisasi kemahasiswaan. Senat nilai SK ini langgar aturan lebih tinggi dan matikan demokrasi kampus. SK mereka coret. Akibatnya, ketua senat dan dua rekannya diskors. Rektor juga bekukan organisasi senat. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan ini, mereka mogok makan.
Mogok makan adalah sebuah cara perlawanan tanpa kekerasan. Awalnya, di Irlandia, mogok makan seringkali dilakukan di depan pintu rumah si pelanggar. Membiarkan seseorang mati di depan rumah karena kesalahan yang dituduhkan dianggap sebagai sesuatu yang mencemarkan si pemilik rumah.
Mahatma Gandi pakai cara ini dalam gerakan kemerdekaan India melawan Inggris. Efektif. Yang baru saja dan berhasil, mogok makan 5 hari Presiden Bolivia Evo Morales. Ia baru berhenti setelah parlemen Bolivia menyetujui UU yang memastikan pemilu 6 Desember 2009, sekaligus mengizinkan presiden pertama suku Indian ini bisa ikuti kembali.
Akankah mogok makan para mahasiswa Unipa efektif seperti Gandhi dan berhasil seperti Morales? Tak tahulah. Mogoknya Gandi efektif karena dia tokoh berpengaruh. Mogoknya Morales berhasil karena dia presiden. Yang mereka hadapi, penjajah Inggris dan parlemen Bolivia. Di Unipa? Mereka cuma mahasiswa. Lagi pula, ini di Indonesia. Mau mati, mati saja. Pancasila sudah jadi Pencak Silat. Demokrasi sudah jadi demo-crazy. Kekuatan logika (intellectual power) sudah diganti logika kekuatan (political power).
Jadi? Jawabannya bergantung pada rektor dan ketua yayasan. Yang jelas, kita prihatin. Sejak berdiri 2004, baru kali ini Unipa lakukan KKN. Eh, langsung bermasalah. Dan, awal masalah itu adalah uang. Buruk. Bukan karena uang tidak penting. Yang jadi soal: mengapa gara-gara uang KKN, masalah ikutannya begitu panjang dan dramatis. Ini hanya memperkuat kesan, dunia perguruan tinggi semakin mengabdi pada kepentingan pasar. Kapitalisasi pendidikan menjadi begitu mutlak. Semua ruangnya dijadikan komoditas untuk menumpuk modal. Tak heran, pendidikan menjadi begitu mahal.
Kita berharap, rektor dan ketua yayasan bijaksana. Membiarkan seseorang mati di depan rumah hanya akan mencemarkan si pemilik rumah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar