Aneka Pernyataan yang Memojokkan Gereja
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda melontarkan pernyataan keras terhadap Gereja dalam seminar tambang di Labuan Bajo, Sabtu 25 April 2009. Tentang pernyataan ini, Flores Pos dan Pos Kupang hanya menyinggungnya sedikit. Yang lengkap justru beredar via SMS. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr meneruskan SMS dari Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo.
“Ini pernyataan-pernyataan Bupati Pranda yang bernada memojokkan Gereja kemarin dalam seminar. (1) Gereja jangan menjadi provokatur di tengah masyarakat. Kalau masyarakat sudah setuju kehadiran tambang, untuk apalagi kamu masuk ke sana? Jangan mengadu domba masyarakat. (2) Cincin nikah, cincin uskup, dan piala misa itu dari mana? (3) Mengapa pembalakan liar Gereja tidak omong, tapi tambang ngotot sekali? (4) Kita urus saja bidang kita masing-masing. Gereja jangan campur tangan lagi soal tambang. (5) Apa itu JPIC? Sampai dia buat pelesetan menjadi Gipi Asi, dengan nada sinis. (6) Dia menyapa Pater Simon sebagai Saudara. Tapi diawali dengan nada sinis juga. ‘Saya panggil Pater atau Pa moderator ini. Saya panggil Saudara saja. Karena saya tahu pastor itu hanya urus Gereja.’ (7) Yang menolak tambang itu anti-Pancasila dan UUD ’45.”
Bila ketujuh pernyataan Pranda dikritisi, kolom ini terlalu pendek. Ringkas saja, kata-katanya memang keras. Keras, karena memojokkan, bukan karena logis dan benarnya. Ia bernyali mengkritik Gereja dan para imam, sayangnya dengan bekal pengetahuan yang parah. Akibatnya: tahu sedikit, omong banyak. Tahu tidak betul, omong ngawur.
Dia tidak sendirian. Di Ende dan Lembata ada juga. Tahun 2008, ketika JPIC SVD dan Keuskupan Agung Ende mendampingi 11 pemilik tanah yang dikorbankan dalam ganti rugi tanah PLTU Ropa, Camat Maurole Gregorius Gadi mencap para imam provokatur, menghasut rakyat melawan pemerintah. Di Lembata, Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri juga menuduh para imam provokatur karena memihak masyarakat menolak tambang emas.
Tanggapan para imam? Singkat saja. Ini misi kehadiran Gereja yang tidak bisa ditawar-tawar. Bagi imam Katolik, tak ada pelayanan kepada Allah tanpa kepedulian terhadap sesama dan alam ciptaan. Tanggapan ini pun terasa cukup untuk dialamatkan kepada Bupati Pranda.
Seorang bupati cerdas, Katolik, yang tahu hakikat, tugas, dan fungsi Gereja serta kaum tertahbis, dan bersih diri, tak mungkin omong ngawur. Kalau sampai ngawur, mungkin ada apa-apanya. Lazimnya, pemojokan terhadap Gereja dan cap provokatur terhadap para imam merupakan tanda kegelisahan kekuasaan menghadapi kebusukannya sendiri yang tengah terancam terbongkar kedoknya.
Untuk itu, Gereja dan para imam akan maju terus. Ini tugas perutusan. Bersuara lantang justru ketika semua orang memilih diam.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar