Saling Tuding PN dan Kejari Maumere
Oleh Frans Anggal
Pengadilan Negeri Maumere menyesalkan sikap mantan Bupati Sikka Alexander Longginus yang bernyanyi dan berjoget saat kampanye terbuka PDIP di Lapangan Kota Baru, Maumere, Jumat 23 Maret 2009. Longginus yang juga Ketua DPC PDIP Kabupaten Sikka adalah tersangka kasus korupsi dana purnabakti DPRD Sikka periode 1999-2004 yang masih berstatus tahanan kota.
Sebelumnya, ia menjadi tahanan jaksa. Kemudian oleh pihak pengadilan statusnya dialihkan menjadi tahanan kota dengan alasan sakit berdasarkan rekaman medis RSUD Maumere. Yang disesalkan pengadilan, Longginus melakukan kegiatan layaknya tidak sebagai orang sakit. Padahal, statusnya dialihkan justru karena dia sakit.
Belum jelas benar apa sesungguhnya yang dipersoalkan pengadilan atas diri Longginus. Apakah status tahanan kotanya ataukah status sakitnya? Kalau tahanan kotanya yang jadi soal, pertanyaan: apakah tahanan kota dilarang berkegiatan dalam kota, naik panggung kampanye, bernyanyi dan berjoget? Kalau sakitnya yang jadi soal: apakah orang sakit tidak boleh bernyanyi dan berjoget?
Sejauh tidak ada larangan yuridis formal, semua ini tidak perlu dipersoalkan. Dari sisi kepatutan pun tidak. Nyanyi dan joget bisa menjadi semacam katarsis untuk melepaskan stres. Bisa juga menjadi terapi bagi si sakit agar cepat sembuh sehingga siap menjalani proses hukum selanjutnya.
Yang patut dipersoalkan justru reaksi atas peristiwa ini. Kejaksaan dan pengadilan baku tolak tanggung jawab dan mulai saling mempersalahkan. Kata kejaksaan, Longginus sudah menjadi tahanan pengadilan. Pengadilanlah yang bertanggung jawab atas pengawasan. Pengadilan ‘membalas pantun’: meski Longginus tahanan pengadilan, kejaksaan harus ikut mengawasi. Sebab, kejaksaanlah yang menuntut terdakwa. Kejaksaan pula yang menghadirkannya dalam persidangan.
Siapa salah, siapa benar, tidak penting. Yang penting justru ini: kejaksaan dan pengadilan sedang mempertontonkan sebuah pentas yang jauh lebih ‘menarik’ ketimbang aksi Longginus di atas panggung.
Dua instansi penegak hukum ini memperlihatkan kegagalan mereka sendiri melaksanakan apa yang disebut “sistem peradilan pidana terpadu’ (integrated criminal justice system). Dengan baku tolak tanggung jawab dan saling menuding, yang mereka rajut bukan lagi sistem “terpadu” tapi sistem “teradu”. Mereka menggantikan “berpadu” dengan “beradu”.
Lakon mereka telah mempertaruhkan citra profesionalitas mereka sendiri. Sepertinya mereka tidak tahu apa itu kewajiban, tanggung jawab, hak, hukuman, bahkan konsep tentang hukum itu sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Senin 6 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar