Oleh Frans Anggal
Warga Woloare dan warga Paupanda di Kabupaten Ende nyaris bentrok. Pemicunya kasus penganiayaan oleh beberapa pihak terhadap warga kedua wilayah. Polisi, tokoh masyarakat, dan tokoh umat bekerja keras menenangkan warga. Syukurlah, kondisi semakin membaik. Warga kedua wilayah berangsur bisa mengendalikan diri.
“Ende sare, Lio pawe”. Ende yang cantik, Lio yang molek. Semboyan ini begitu terkenalnya. Ia menggambarkan ‘keindahan’ hidup masyarakat Ende dan Lio, dua etnis besar kabupaten ini. Sudah terbukti, semboyan tersebut bukan isapan jempol. Dari keberagaman masyarakatnya, Kabupaten Ende adalah miniatur Indonesia. Dari kerukunan hidup masyarakatnya, kabupaten ini layak menjadi model bagi Tanah Air.
Saat berbuka puasa Oktober 2007 di Jakarta, dua tokoh asal Flores, Frans Seda yang Katolik dan Haji Muhammad Rodja yang Islam menyatakan, toleransi hidup beragama di Flores layak menjadi contoh untuk negeri ini. Khusus tentang Ende, Muhammad Rodja mengenang, dulu secara rutin tiap tahun Uskup Agung Ende datang ke Istana Raja Ende yang muslim untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri. Demikian sebaliknya, pada hari Natal, Raja Ende datang ke Istana Keuskupan di Ndona untuk mengucapakan Selamat Natal. “Pada tingkat masyarakat pun ini terjadi.” Demikian seperti dilaporkan Flores Pos Edisi Jakarta (Nomor 37/2007).
Dalam konsep tentang provinsi, Forum Pengkajian Pembentukan Provinsi Kepulauan Flores dan Lembata (FP3KFL) menginginkan Flores menjadi provinsi contoh. Bagian dari konsep itu adalah menjadikan Flores sebagai contoh bagi Tanah Air dalam hal sikap toleransi dan kerukunan hidup beragama.
Ketika warga Woloare dan warga Paupanda nyaris bentrok, citra Flores dan gambaran Ende yang rukun mulai diuji. Kita tentu tidak menginginkan pulau ini, daerah ini, menjadi seperti Ambon dan Sambas. Dari dua daerah itu kita belajar bahwa kejadian yang menyulut kerusuhan justru hal-hal kecil yang bisa diperkirakan kalau terjadi "di tempat lain dan di waktu lain" dengan mudah bisa diselesaikan. Di sana, kejadian kecil itu justru menimbulkan malapetaka sosial yang kemudian disesalkan oleh sebagian besar dari mereka yang terlibat. Dan, ternyata ada ‘tangan kuat tak kelihatan’ (the powerful invisible hand) yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.
Akibat langsung dari setiap peristiwa konflik adalah semakin membesarnya masalah sosial-ekonomis, hubungan sosial mengalami pasang surut drastis, dan diperlukan lagi berbagai cara untuk meneguhkan semangat saling percaya yang telah ternoda.
Mari kendalikan diri. Jangan terhasut. Peliharalah Flores sebagai Nusa Bunga. Jagalah agar Ende tetap sare dan Lio tetap pawe.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 29 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar