Oleh Frans Anggal
Hari ini, Senin 31 Desember, hari terakhir 2007. Tahun lama berlalu, tahun baru pun kita masuki. Sayang kalau cuma tahunnya yang baru. Bawaan kita oleh jadi masih yang itu-itu juga: ‘penyakit lama’, ‘penyakit turunan’ yang tak kunjung sembuh. Kemiskinan dan korupsi. Penyakit kelas bawah dan penyakit kelas atas.
Selama 2007, rakyat miskin masih banyak. Bank Dunia menyatakan penduduk miskin Indonesia tetap di atas 100 juta atau 42,6%. Di bidang ketenagakerjaan, pengangguran 40-an juta telah menjadi ancaman buat ASEAN. Di bidang perumahan, masih ada 13 juta rumah tak layak huni. Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran hanya 11,85% dari mandat 20 %. Pemerintah tidak peduli dengan banyaknya anak miskin yang putus sekolah. Education Watch Indonesia menyatakan siswa putus sekolah mencapai 36,73%.
Upaya pemerintah kurang berhasil. Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang mulai 2008 diganti dengan Subsidi Tunai Bersyarat, belum juga sukses. Hanya satu jalan, pemerintah harus mampu menggerakkan sektor riil.
Penyakit kedua adalah korupsi. Parahnya korupsi dibuktikan oleh hasil survei 2007 yang dikeluarkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Posisi ini menegaskan Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara benua Afrika dan negara tetangga Papua Nugini, yang juga sama-sama menempati urutan 130 dunia. Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari 2,4 di tahun 2006 menjadi 2,3 di tahun 2007. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia meningkat dan masuk dalam negara yang dipersepsikan terkorup di dunia.
Jelas terlihat, korupsi di Indonesia bersifat endemik, sistematik, dan menyebar luas (wide spread). Perilaku korup birokrat belum berubah. Penanganannya pun belum membuahkan hasil signifikan.
Korupsi di negeri ini disuburkan oleh sistem perselingkuhan kepentingan ekonomi dan politik para birokrat, pengurus partai politik, dan pemilik modal. Juga karena integritas pribadi para pejabat.
Sebanyak dan sebagus apa pun aturan untuk memberantas korupsi, semuanya sia-sia jika pelakunya tetap rakus. Sejak era reformasi saja telah dibuat 2 TAP MPR, 5 UU, 5 PP, 1 kepres, dan 1 inpres tentang korupsi. Tapi praktik korupsi tetap saja berjalan. Bahkan ada kesan UU yang dibuat justru melindungi para koruptor. Gagalnya penanganan kasus korupsi juga dipicu oleh rendahnya integritas para penegak hukum. Korupsi raksasa diselesaikan secara politik. Aneh.
Kita memasuki tahun baru 2008. Sanggupkan kita memberantas dua ‘penyakit lama’ ini? Mari berusaha, mulai dari diri kita masing-masing.
"Bentara" FLORES POS, Senin 31 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar