Oleh Frans Anggal
Partai Golkar Lembata menyatakan, perjalanan dinas ke luar daerah dimononopoli para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Temuan BPK, selama 2006, bupati Lembata melakukan perjalanan dinas ke luar daerah 25 kali (151 hari), wakil bupati 9 kali (60 hari), sekda 13 kali (101 hari), asisten ketataprajaan 13 kali (79 hari), asisten ekonomi pembangunan 12 kali (76 hari), asisten administrasi 18 kali (116 hari), kadis kesehatan 12 kali (80 hari).
Selain frekuensi dan jumlah harinya mencengangkan, para ‘pejalan’ itu menerima dana melebihi jumlah yang seharusnya. Bupati terima Rp119,7 juta dari seharusnya Rp44,5 juta. Wakil bupati Rp32,5 juta dari seharusnya Rp16,8 juta. Sekda Rp53 juta dari seharusnya Rp19,8 juta. Asisten eknomi pembangunan Rp20 juta dari seharusnya Rp11,1 juta. Asisten adminstrasi Rp45,4 juta dari seharusnya Rp23 juta. Kadis kesehatan Rp22,5 juta dari seharusnya 15,6 juta.
Cerita tentang para ‘pejalan’ di Lembata itu hanya gambaran kecil betapa dana anggaran daerah telah menjadi lahan empuk bagi pelaksana pemerintah di daerah. Mereka, para gubernur, bupati, dan walikota dengan alasan otonomi seolah berhak “mengolah” keuangan di daerahnya. Semuanya berjalan mulus karena DPRD juga terlibat. Simulasinya kira-kira seperti ini: para gubernur, bupati atau walikota berkepentingan agar semua keputusannya untuk penggunaan dana APBD mendapat stempel dari para wakil rakyat, sementara para anggota DPRD yang seharusnya mengawasi penggunaan dana itu juga merasa perlu mendapat bagian. Argumen dan modusnya banyak. Mulai dari uang perjalanan dinas, uang rapat, uang kunjungan, tunjangan-tunjangan jabatan hingga polis asuransi, yang nilainya seringkali melebihi nilai anggaran untuk publik.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Fitra menemukan 10 modus penyalahgunaan dana APBD. Menurut The Habibie Center ada 20 modus korupsi yang berpeluang digunakan oleh anggota eksekutif dan legislatif di daerah. Tapi secara umum, hasil penelitian dua lembaga itu punya kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak dari perencanaan (usulan).
Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran, telah disalahgunakan. Sementara, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tak heran jika kemudian wewenang besar itu justru melahirkan banyak penyimpangan. Masyarakat kaget ketika para kepala daerah dan ratusan anggota DPRD di hampir seluruh Indonesia berurusan dengan hukum karena memindahkan dana APBD ke kantong pribadi. Semestinya jangan kaget. Negeri ini surga para pencuri berdasi.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 28 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar