Oleh Frans Anggal
Enam balita di Kabupaten Sikka menderita busung lapar dan marasmus. Kasus ini ditemukan saat petugas kesehatan menimbang bayi pada Januari. Dari 25.565 yang ditimbang, 64 menderita busung lapar, 2 marasmus, 417 gizi buruk, 8.289 gizi kurang, dan 16.816 gizi baik. Terhadap yang busung lapar dan marasmus, dinas kesehatan tengah melakukan program pemberian makanan tambahan (PMT) dan makanan pendamping sir susu ibu (MP-ASI). PMT berupa makanan lokal seperti kacang hijau, ikan, dll. Sedangkan MP-ASI berupa paket makanan siap santap yang didrop dari pusat.
Kasus Sikka ini seakan mengembalikan kita pada mimpi buruk NTT tahun 2005. Kala itu, sepanjang Januari-Desember, jumlah kasus gizi buruk mencapai 13.969 dari total balita 477.829. Dari kasus ini, 58 balita meninggal.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk. Faktor-fakor itu saling berkait. Secara langsung, pertama, anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama. Kedua, anak menderita penyakit infeksi. Pada anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tubuh karena gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi.
Secara tidak langsung, penyebab terjadinya gizi buruk adalah tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik, dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas.
Akar masalahnya berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan kemiskinan keluarga. Khusus di NTT, ada kaitannya juga dengan faktor sosial budaya dan ketidaktahuan, rendahnya daya beli, tingginya penyakit infeksi, serta kekeringan yang berkepanjangan.
Mengatasinya tidak mudah. Apa yang dilakukan dinas kesehatan di Sikka saat ini merupakan langkah jangka pendek untuk tanggap darurat. Itu saja tentu tidaklah cukup kalau inginkan kasus yang sama tidak berulang. Diperlukan aksi jangka menengah dan panjang. Aksi jangka menengah meliputi revitalisasi posyandu, revitalisasi puskesmas, dan revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Sedangkan aksi jangka panjang meliputi pengintegrasikan program perbaikan gizi dan ketahanan pangan ke dalam program penanggulangan kemiskinan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan pendidikan terutama pendidikan wanita, dan pemberdayaan keluarga akan perilaku sadar gizi.
Langkah-langkah ini sudah dikenal dan biasanya menghangat setiap kali kasus gizi buruk muncul. Sayangnya, begitu kasus mereda, berangsur-angsur pula komitmen, kesungguhan bekerja, dan kontrol menjadi kendur. Jadi, ini salah satu penyebabnya: kita tidak serius.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 25 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar