Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka banyak ibu dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga meminta perlindungan dan memilih menetap di Panti Asuhan Penyandang Cacat Santa Dymphna, Wairklau, Maumere. Mereka merasa, dengan tinggal di panti, stres dan beban ekonomi mereka berkurang.
Di kabupaten yang sama, untuk mengenang setahun deklarasi Hari Bapak Nasional 12 November, Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret menggelar seminar “Peran Bapak dalam Kehidupan Masyarakat”.
Seperti apakah citra bapak dalam masyarakat kita, jawabannya terungkap dalam ruang seminar: bapak naik kuda, ibu jalan kaki. Namun jawaban lebih mengerikan ditemukan di panti di Warklau: bapak beringas, ibu dan anak mengungsi. Peran bapak memotretkan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada umumnya memang pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah bapak/suami, dan korbannya adalah anak-anak/istri. Bentuk kekerasan meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dsb. Secara psikologis, kekerasan dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dll. Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.
Kekerasan dalam rumah tangga lahir karena banyak faktor. Namun faktor terpenting adalah ideologi dan budaya. Perempuan dan anak-anak cenderung dipandang sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Mereka tidak dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun mereka harus menuruti kehendak suami atau bapak. Begitu kuatnya idelogi dan budaya ini sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan atau tidak melaporkan kejadian karena menganggapnya biasa.
Mengubah hal “biasa” yang sudah teranyam dalam tatanan nilai ini tidaklah mudah dan cepat. Dibutuhkan proses panjang dan serius melalui pendidikan yang menanamkan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki sama derajatnya. Lahirnya UU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga tentu turut membantu proses ini, selain untuk menegakkan hukum guna mancapai keadilan. Kita berharap gerakan dari Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret pun dapat menjadi bagian penting dari proses peng-arus-utama-an jender di Flores.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 21 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar