Oleh Frans Anggal
Di tengah keprihatinan masyarakat akan bencana kelaparan, masih ada anggota DPRD Manggarai yang ‘merengek’ karena rapel dan tunjangan dewan berdasarkan PP 37/2006 belum dibayar pemkab. Anggota dewan Wily Nurdin, misalnya, menilai Pemkab Manggarai membangkang dan tidak loyal terhadap pemerintah pusat dalam menjalankan amanat PP 37/2006.
Dasar penilain Nurdin tentu hanya pada fakta bahwa sudah ada PP dan sudah ada perda berdasarkan PP itu. Karena sudah ada, maka harus dijalankan. Cara berpikir sesat ini setali tiga uang dengan dasar tuntutan anggota DPRD Ende agar rapel segera dibayar hanya karena sudah ada perda. Mereka lupa atau tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa perda itu didasarkan pada PP 37/2006 yang sekarang justru sedang direvisi. Direvisi karena rapuh, tidak saja rapuh secara hukum tetapi juga rapuh secara moral. Bagaimana bisa menjadikan sebagai dasar sesuatu yang ternyata rapuh?
Pemerintah pusat sendiri sudah menyadarinya, hal yang mendorongnya melakukan revisi. Atas dasar itu pula Mendagri yang tak ingin terjebak dalam ranjau hukum memerintahkan semua pemkab menunda pelaksanaan pembayaran. Langkah Mendagri tepat. Sikap semua bupati pun bijak. Yang sekarang lucu adalah sikap anggota DPRD. Ngotot tanpa dasar dan menuding tanpa pijakan rasional.
Revisi PP 37/2006 dan penundaan pembayaran sebenarnya menguntungkan DPRD sendiri. Flores Pos sudah menguraikan bahwa dari isi dan prosesnya, PP No 37/2006 adalah sebentuk korupsi karena mengandung perbuatan melawan hukum, memperkaya orang lain, dan merugikan keuangan negara. Revisi justru menyelamatkan DPRD dari kemungkinan terperosok pada jebakan korupsi. Ini yang tidak mereka lihat. Apakah karena tersilau oleh kibaran rupiah yang ‘bakal’ mereka terima?
Soal rapel, misalnya, bisa sangat fatal. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional dibayarkan mundur sejak 1 Januari 2006. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2004 mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah, kegiatan pada tahun anggaran 2006 tidak dapat dibayar dengan APBD 2007. Jika dipaksakan ada pembayaran rapelan tunjangan tahun 2006, pemerintah dan DPRD sudah terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Selai itu, tentu, penggunaan anggaran yang sangat besar per tahun untuk penambahan tunjangan DPRD mengindikasikan adanya usaha untuk memperkaya diri dan menyalahgunakan APBD. Seharusnya, APBD dialokasikan untuk memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat melalui pembangunan, bukan dibagi-bagi kepada para anggota DPRD.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 20 Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar