20 November 2009

Pemkab Sikka Terlibat

Leaglitas UMK Kampus III Maumere

Oleh Frans Anggal

Kemelut Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Kampus III Maumere belum berakhir. Rapat di Kupang, yang dihadiri 6 utusan mahasiswa, rektor, pembantu rektor, dan yayasan, belum juga bisa memberi jawaban jelas. Yakni soal legalitas kampus dan status fakultas hukum. Demikian warta Flores Pos Rabu 11 November 2009.

Ini ketidakjelasan untuk kesekian kalinya. Pada 21 Oktober, dalam dialog dengan mahasiswa di Maumere, pembantu rektor III tidak bisa jelaskan legalitas kampus. Pada 5 November, dalam dengar pendapat dengan DPRD Sikka, sekretaris pengelola UMK Kampus III Maumere pun tidak bisa jelaskan legalitas kampus. Kata keduanya, ini porsi rektor. Pada 6 November, dalam rapat dengar pendapat di DPRD Sikka, ternyata rektor juga tidak bisa jelaskan secara meyakinkan soal legalitas kampus. Sekarang, rapatnya di Kupang. Hasilnya, sama. Tetap tidak jelas.

Pertanyaan kita: kenapa kampus yang tidak jelas legalitasnya ini bisa berkiprah di Kabupaten Sikka? Jawabannya sudah terungkap dalam pemberitaan sebelumnya. Ada MoU antara UMK dan Pemka Sikka. MoU ini diperbarui lima tahun sekali. Maka, tak dapat dinafikan, Pemkab Sikka terlibat. Pemkab jelas berandil menghadirkan sesuatu yang tidak jelas.

UMK Kampus III Maumere itu kelas jauh. Sesuatu yang sudah lama dilarang oleh dirjen dikti. Sudah sejak 1997. Pelarangan itu diulang berkali-kali pula: 2002, 2005, 2007, 2009. Alasannya pun kurang lebih sama. Kelas jauh melanggar norma dan kaidah akademik. Dosen tidak selalu berada di kampus. Perpustakaan dan laboratorium pun tidak tersedia. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kelas jauh bisa memainkan peran perguruan tinggi sebagai ‘pusat keunggulan’ (center of excellence)?

Pada Agustus 2008, sebanyak 13 guru besar yang tergabung dalam Komisi Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menandatangani pernyataan keprihatinan tentang penyelenggaraan pendidikan kelas jauh dan sejenisnya yang dilakukan perguruan tinggi swasta di NTT dan di luar NTT. Pernyataan itu berisi enam butir sikap. Intinya, selain prihatin, mereka menolak penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Sekretaris Komisi Guru Besar Undana Kupang, Alo Liliweri, penyelenggaraan pendidikan dengan sistem jarak jauh membodohi masyarakat umum dan peserta didik khususnya. Peserta didik dan para orangtua membuang biaya, tenaga, dan waktu untuk mendapat ijazah dan menyandang gelar yang kemudian tidak diakui.

Alo Liliweri benar. Pada 2007, dirjen dikti keluarkan edaran untuk kepala BKN, kakan regional BKN, kepala BKD, bupati, dan koordinator kopertis wilayah I-XII se-Indonesia. Isinya, selain pelarangan, juga penegasan. Bahwa ijazah kelas jauh dan kelas Sabtu-Minggu tidak dapat digunakan untuk pengangkatan dan pembinaan jenjang karier atau penyetaraan bagi PNS. Dengan kata lain, ijazah dan gelarnya tidak diakui.

Untuk Pemkab Sikka, buktinya sudah ada. Sebanyak 8 PNS alumni kelas jauh UMK Kampus III Maumere ditolak penyesuaian ijazahnya oleh BKN. Justru dari sinilah awal kemelut terjadi.

Pertanyaan kita: kenapa Pemkab Sikka berani-beraninya meneken MoU tentang sesuatu yang jelas melanggar aturan? Seandainya MoU itu tidak ada, tidak ada pula kelas jauh UMK di Maumere. Pemkab terlibat. Pemkab harus bertanggung jawab. Segera selesaikan!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 12 November 2009

Tidak ada komentar: