18 November 2009

Uskup Hubert, Fajar Baru

Pengangkatan Uskup Ruteng

Oleh Frans Anggal

Doa-doa umat Keuskupan Ruteng terkabul. Hanya satu tahun sepeninggal almarhum Mgr Eduardus Sangsun SVD (13 Oktober 2008), Gereja lokal yang mencakup Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur ini sudah memiliki uskup baru. Dia Mgr Hubertus Leteng, imam projo Keuskupan Ruteng, doktor bidang spiritualitas, jebolan Universitas Teresianum Roma, yang kini Praeses Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret dan dosen STFK Ledalero.

Paus Benediktus XVI mengangkat dan mengumumkannya di Roma pada Sabtu 7 November 2009, pkl 12.00 waktu setempat atau pkl 19.00 Wita. Dalam SMS ke berbagai pihak pada hari yang sama, Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr mengakhiri kabar gembira ini dengan ucapan singkat. “Trims (atas) doa-doa.”

Doa telah terpenuhi. Yang segera terpampang: harapan. Dalam warta Flores Pos Senin 9 November 2009, salah satu harapan datang dari Bupati Manggarai Christian Rotok. Ia harapkan uskup baru bisa membangun kerja sama agar kehidupan umat dan rakyat semakin sejahtara. “Bagi pemerintah, kerja sama dengan Gereja mutlak dan harus. Karena, sasaran yang mau dibangun sama, yakni rakyat dan umat.”

Kerja sama seperti apa? Tokoh umat Rofino Kant mengharapkan, kerja sama itu bersifat kritis. Kerja sama kritis, tidak hanya dengan pemerintah, tapi juga dengan semua pemangku kepentingan.

Jauh sebelumnya, “Bentara” Flores Pos Senin 27 April 2009 bertajuk “Ketika Gereja Dijinakkan” telah merumuskannya lebih konkret. “Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.”

Gereja tidak boleh memilih diam. Berbicaralah! Gereja harus menolak bungkam. Bersuaralah! Bungkamnya Gereja di hadapan penguasa dan tidak jelas-tegasnya keberpihakannya dalam tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM, akan membawa dampak buruk. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan domba-domba itu tercerai-berai dan dimangsa.

Karena itu, harapan ini sangat tepat. “Umat tidak sekadar menantikan seorang uskup baru, tapi juga sebuah pola pastoral yang peka terhadap jeritan mereka. Umat bukan sekadar mengharapkan seorang yang diurapi sebagai raja, tapi sekalian imam dan nabi.” Demikian guratan lirik Eddie Doren dalam milis svd-sejagad-allesaja.

Siapakah Uskup Hubert, sampai kita boleh berharap banyak padanya? Agustinus Dawarja, mantan muridnya di Seminari Kisol, menulis sekilas gambaran tentang tokoh ini di milis forum-lonto-leok-nuca-lale. “Kesederhanaannya serta kerja kerasnya sungguh mengagumkan. Saya ingat dulu kalau potong rumput, beliau selalu ‘racang’ (asah) sabitnya dengan baik dan pegang sabit sendiri. Selama kerja jarang ngobrol, tapi nanti begitu istirahat dia bisa buat ‘joke’ yang ringan. Soal rajin berdoa saya tak ragu sama sekali. Seingatku, patung Bunda Maria di belakang gereja (Seminari) Kisol merupakan tempatnya berdoa setiap malam dan selalu yang (pulang) paling terakhir.”

Kita optimistik. Dalam diri Uskup Hubert, ada kemampuan dan kemauan memenuhi harapan itu. Kita percaya, dia mampu dan mau menjadi “fajar baru” bagi Keuskupan Ruteng. Ia sederhana. Rendah hati. Dekat ke bawah (umat). Dekat ke atas (Tuhan, bukan tuan).

“Bentara” FLORES POS, Selasa 10 November 2009

Tidak ada komentar: