17 November 2009

Asti vs “Patriot”

Delik Pers di Flores Timur

Oleh Frans Anggal

Pemred Mingguan Patriot dilaporkan ke polisi oleh Maria Fransiska Sri Haryati alias Asti, pegawai lepas Sekretariat Bupati Flotim. Asti merasa dirugikan oleh pemberitaan Patriot. Yang diberitakan, tidak benar. Asti tidak bekerja di ruang bupati, tapi di ruang sekretariat bupati bersama staf lain.

Reaksi Patriot? Tidak ada Asti dalam berita. Juga tidak ada bantahan alias hak koreksi atau hak jawab dari Asti, sebagaimana amanat UU 40/1999 tentang Pers. Tanggapan Asti? Meski namanya tidak disebutkan, yang dideskripsikan berita adalah dirinya. Soal hak jawab, ia memilih tidak digunakan. Ia langsung proses hukum. Demikian warta Flores Pos Sabtu 31 Oktober 2009.

Asti mewakili pandangan, hak jawab boleh digunakan, boleh tidak. Kalaupun digunakan, itu tidak batalkan gugatan. Dasarnya, UU tentang Pers bukanlah ‘hukum khusus’ (lex specialis). UU ini hanya atur tiga delik: norma agama, rasa kesusilaan, dan asas praduga tak bersalah. Delik lain tidak, seperti pencemaran nama baik, penghinaan ringan, fitnah, kabar bohong. Ini diatur KUHP. Maka untuk delik-delik ini, orang pakai KUHP, bukan UU tentang Pers.

Patriot mewakili pandangan, UU tentang Pers itu lex specialis. Segala perkara menyangkut pemberitaan pers harus gunakan UU ini. Dasarnya pasal 63 KUHP ayat 2: jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khsus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Asasnya: ‘hukum khusus menangguhkan hukum umum’ (lex specialis derogat legi generali).

Pasal 5 ayat 2 UU tentang Pers: pers wajib layani hak jawab. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk berikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 18 ayat 2: jika hak jawab sudah digunakan masyarakat namun tidak dilayani pers maka pers diancam pidana denda Rp500 juta.

Hingga kini, dua pandangan di atas masih bersaing. Pakai UU tentang Pers ataukah KUHP? Jangankan akademisi, hakim pun berbeda pandangan.

Contoh, kasus Tomy Winata vs Majalah Tempo, 2003. Di pengadilan negeri, gugatan Tomy dikabulkan. Alasan: Tempo tidak mampu buktikan kebenaran berita. Fisik buku proposal renovasi Pasar Tanah Abang yang disebut Tempo diajukan Tomy tiga bulan sebelum kebakaran Pasar Tanah Abang (yang mengesankan pasar sengaja dibakar agar proposal itu lolos) tidak mampu diperlihatkan di persidangan. Tempo dinyatakan bersalah mencemarkan nama baik penggugat.

Di tingkat banding, putusan pengadilan negeri ini dibatalkan. Alasan: penggugat tidak gunakan hak jawab dan hak koreksi seperti diatur dalam UU tentang Pers. Karena penggugat tidak gunakan itu maka belum terdapat adanya kesalahan pada pers. Kesalahan pers baru ada manakala pers tidak melayani hak jawab pihak yang diberitakan.

Nasib Asti vs Patriot bisa seperti ini. Tidak pasti. Juga: kuras waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Kata pepatah: kalah jadi abu, menang jadi arang. Yang kalah, yang menang, sama-sama rugi. Padahal, ada cara lain! UU tentang Pers tawarkan ini. Penyelesaian oleh Dewan Pers. Kalau belum puas, barulah proses hukum. Kenapa solusi ini tidak dicoba?

“Bentara” FLORES POS, Senin 2 November 2009

Tidak ada komentar: