Penertiban Pasar Dadakan di Lembata
Oleh Frans Anggal
Polisi pamong praja lakukan penertiban di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Selasa 24 November 2009. Sasarannya, pasar dadakan di Berdikari, Kelurahan Lewoleba. Seperti diwartakan Flores Pos Rabu 25 November, para petugas membongkar tempat berjualan sayur dan ikan. Para pedagang lakukan perlawanan, menyiramkan air ikan bercampur lombok ke arah petugas. Sia-sia.
Kenapa mereka melawan? Saat datangi DPRD usai bongkar paksa itu, para pedagang jelaskan dasarnya. Mereka berjualan di pasar dadakan karena jualan mereka laris. Tidak demikian kalau berjualan di pasar resmi di Pada. Pasar Pada jauh di luar kota. Harus buang uang lagi untuk ongkos transportasi. Mereka sudah coba. Tidak untung tuh. Akhirnya mereka kembali ke pasar dadakan, di dalam kota.
Kita namakan saja ini ’rasionalitas ekonomi dan bisnis’. Dagang ya cari untung, bukan cari buntung. Bahwa demi cari untung, perda tata ruang kota dilanggar, itulah yang terjadi. Lembata sudah punya perdanya. Perda Nomor 12 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Kota. De facto, yang langgar perda ini bukan hanya para pedagang sayur dan ikan yang notabene cuma orang kecil, miskin, kurang terdidik itu. Orang besar, orang kaya, figur publik pun pelanggar perda juga.
Koordinator Aldiras, Piter Bala Wukak, dalam orasinya di DPRD hari itu mengangkat ini sebagai dasar lain mengapa para pedagang melakukan perlawanan. Kita namakan saja ini ’rasionalitas hukum dan keadilan’. Pemerintah hanya menertibkan orang kecil. Sedangkan orang besar, orang kaya, dibiarkan. Mereka bebas-ria menginjak-injak perda. Ia sebutkan tiga contoh.
Pertama, Lopo Moting milik Andreas Duli Manuk, yang adalah bupati Lembata, dibangun di jalur hijau. Letak bangunan ini jelas-jelas melanggar perda. Kenapa tidak ditertibkan? Kedua, Hotel Anisa dibangun di pinggir pantai. Ini juga jelas-jelas melanggar perda. Kenapa tidak ditertibkan? Ketiga, kantor bupati, ada tiga! Di Lusikawak, di Lamahora, dan di tengah kota. Apa-apaan ini? Yang di Lamahora itu melanggar perda. Kenapa tidak ditertibkan?
Di hadapan pertanyaan retoris ini, DPRD tidak bisa jawab. Wakil ketua Hyasintus Burin paling cuma bilang begini. Aspirasi para pedagang akan dikaji oleh dewan. Selanjutnya ia minta para pedagang ikuti dulu apa yang diatur oleh pemerintah. Jawabannya tidak memuaskan. Maka, para pedagang kasih tenggat 1 x 23 jam untuk cari jalan keluar. Lewat dari itu, mereka akan duduki kantor DPRD.
Dengan kasus ini, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Lembata? Ada otoritas! Tapi, tak ada legitimasi! Merujuk ilmuwan politik Robert Bierstedt, otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan. Pemilik otoritas berhak mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta berhak mengharapkan kepatuhan terhadap peraturannya. Apa yang terjadi di Lembata? Pemilik otoritas (pemerintah) membuat peraturan (perda) lalu keluarkan perintah (tertibkan pasar dadakan). Dan? Ini pokok soalnya: peraturan dan perintah itu tidak dipatuhi! Artinya apa? Ada otoritas, tapi tak ada legitimasi.
Tak ada legitimasi berarti tak adanya keyakinan pada masyarakat bahwa wewenang yang dimiliki penguasa itu wajar dan patut dihormati. Di Lembata, ini bukan dongeng. Tuntutan para pedagang bersama Aldiras sangat jelas. Mereka bilang, kalau mau Lembata damai dan sejahtera, hanya ada satu jalan: berhentikan Bupati Andreas Duli Manuk!
Ibarat sebuah drama, pentas di Lembata saat ini punya judul. ”Otoritas Tanpa Legitimasi”. Penertiban pasar dadakan dan perlawanan terhadapnya hanyalah sebuah episode dari banyak yang sudah, sedang, dan akan dipertontonkan.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 26 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar