Kontroversi Anggaran Sosialisasi Tambang
Oleh Frans Anggal
DPRD Lembata dinilai tidak berwibawa. Mereka bikin kesepakatan dengan pemerintah. Lalu, pemerintah langgar kesepakatan itu. DPRD menerimanya begitu saja. Seakan-akan tidak ada masalah.
Penilaian ini dilontarkan anggota dewan Fredy Wahon dalam rapat paripurna DPRD, Senin 23 November 2009. Agenda paripurna ini: penyampaian nota keuangan APBD 2010 oleh Bupati Andreas Duli Manuk. Seperti diwartakan Flores Pos Selasa 24 November, Wahon lakukan interupsi sebelum bupati bacakan nota keuangan. Ia minta klarifikasi dari Ketua DPRD Yohanes de Rosari. Apa masalahnya?
Dalam nota keuangan yang naskahnya dibagikan ke anggota dewan, anggaran sosialisasi dan pendampingan masyarakat untuk usaha pertambangan bahan galian A dan B tetap dimasukkan. Padahal, item ini sudah dicoret dalam nota kesepakatan yang telah ditandatangani bupati dan ketua DPRD.
Menurut Wahon dkk, pemerintah harus tarik kembali nota keuangan ini. Diperbaiki dulu. Dan karena itu, paripurna harus ditunda. Ketua DPRD Yohanes de Rosari tidak sependapat. Mengutip kadispenda, dia bilang: ini hanya human error. Kekeliruan manusiawi. Tidak disengajakan. Sidang perlu dilanjutkan. Bupati setuju. Alasannya, item tersebut bisa diubah dalam pembahasan nanti. Maka, ketua ketuk palu. Paripurna dilanjutkan.
Benarkah lolosnya item yang sudah digugurkan itu hanya sebuah kekeliruan? Menjawabnya, dibutuhkan kejujuran. Persoalannya: apa ukuran kejujuran di sini? Seberapa besar pula tingkat keterpercayaan terhadap kejujuran itu? Maka, kejujuran saja tidak cukup. Perlu ada pengujian dan pembuktian. Persoalannya lagi: cepat, mudah, dan murahkah proses pengujian dan pembuktian itu?
Kita andaikan saja, yang dikatakan pemerintah benar. Human error. Maka, beberapa hal tak terbantahkan. Pertama, penyusun nota keuangan tidak cermat. Dalam hal ini, dispenda. Kedua, penanda tangan nota keuangan juga tidak cermat. Dalam hal ini, bupati. Ketidakcermatan terletak pada masuk kembalinya item yang sudah digugurkan dalam nota kesepakatan yang sudah ditandatangani bupati dan ketua DPRD.
Pertanyaannya sekarang: langkah apa yang semestinya dilakukan? Sayang, pada titik penting ini, DPRD Lembata justru berlawanan pendapat. Fredy Wahon dkk mendesak nota keuangan diperbaiki sebelum paripurna dilanjutkan. Desakan ini rasional. Sebab, meskipun human error, yang terjadi itu tetaplah kesalahan. Setiap kesalahan mengandung secara intrinsik tuntuan perbaikan pada tempat kesalahan terjadi. Di mana tempat kesalahan terjadi? Di dalam nota keuangan! Maka, perbaikannya harus pada nota keuangan itu. Dengan demikian, nota keuangan menjadi dokumen yang benar dan sah. Di atas kebenaran dan keabsahannyalah paripurna bisa berjalan benar dan sah pula.
Logika seperti ini tidak masuk dalam batok kepala Ketua DPRD Yohanes de Rosari. Begitu mudahnya ia terpengaruh pendapat bupati. Bahwa, item human error bisa dibahas dan diubah dalam rapat komisi nanti. Janggal! Pertama, itu berarti komisi bahas lagi item yang sudah digugurkan. Kedua, yang lakukan human error pemerintah. Maka, pemerintahlah yang harus lakukan perbaikan, membuang item human error itu, sehingga komisi tidak perlu lagi membahasnya.
Terlambat. Palu sudah diketuk oleh ketua DPRD. Sidang paripurna jalan terus. Item human error tetap ada dalam nota keuangan. Kalau tidak dibahas oleh komisi nanti, item itu lolos, dianggarkan. Itu berarti melanggar nota kesepakatan. Kalau dibahas, itu berarti komisi kerja bodoh: menjilat kembali ludah yang sudah dibuang. DPRD Lembata betul-betul satu nol dalam ‘pertandingan’ ini.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 25 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar