Menunggak Pengembalian Dana TKI
Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD Flotim 2004-2009 menunggak pengembalian dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) Rp1,3 miliar. Dana seluruhnya Rp1,6 miliar, untuk 30 anggota dewan. Yang sudah dikembalikan baru Rp300 juta. Dengan kata lain, hanya segelintir anggota yang sudah melunasi tunggakan.
“Ini menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik dari mantan anggota DPRD Flotim periode 2004-2009 …. Padahal, telah diberikan tenggang waktu yang cukup lama untuk mengembalikan dana dimaksud.” Demikian pernyataan Aktivitas Pendalaman Iman (API) Reinha Rosari Mahasiswa Katolik Dioses Larantuka di Kupang. Warta Flores Pos Sabtu 14 November 2009.
Tidak ada itikad baik. Simpulan yang tepat sekali. Tapi, sayangnya, terlambat sekali. Yang salah di sini adalah asumsi. Bahwa, karena wakil rakyat, mereka diyakini akan beritikad baik. Termasuk dalam mengembalikan uang dan aset daerah. Terbukti, meleset jauh. Diminta saja, sulit mereka kembalikan. Apalagi kalau dibiarkan, menunggu mereka beritikad baik.
Ambil contoh, DPRD Manggarai 2004-2009. Sampai sekarang belum semua kembalikan kendaraan dinas. Khususnya sepeda motor. Kalaupun dikembaikan, banyak yang tinggal kerangka. Suku cadang dan aksesorisnya sudah dipreteli abis. Sudah jadi rahasia umum, ini ‘hasil karya’ anak-anak para wakil rakyat. Seperti disentil Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Sabtu 14 November 2009. “DPRD Manggarai belum kembalikan motor.” Komentar Om Toki? “Bapa dewan, anak berjaya, motor hancur.”
Hal yang sama dilakukan DPRD Flotim 2004-2009. Bukan kendaraan dinas, tapi dana TKI. Telah dikasih tenggang waktu beberapa tahun untuk pengembaliannya. PP 37/2006 beri tenggat satu bulan sebelum masa bakti berakhir. Hasilnya? Hanya segelintir yang patuh. Lainnya, mereka lari naek itu PP. Dari Rp1,6 miliar, baru Rp300 juta kembali ke kas umum daerah. Sebanyak Rp1,3 miliar masih ada di tangan anggota.
Dengan fakta seperti ini, masihkah kita mengandalkan itikad baik mereka? Tidak! Asumsi harus segera diubah. Keyakinan akan itikad baik harus diganti dengan dugaan akan itikad buruk. Ada dasarnya, tentu.
Pertama, presedennya. Kasus demi kasus sudah terjadi. Berkali-kali dan hampir di mana-mana. Di Manggarai sudah, dalam kasus kendaraan dinas. Di tempat lain sudah, dalam kasus yang lain. Sekarang di Flotim, dalam kasus dana TKI.
Kedua, psikologi kekuasaan. Sudah dari sononya, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Sebagai wakil rakyat, DPRD penguasa juga, oleh kewenangan dan privilese yang dimilikinya. Kewenangan apa pun mudah disewenang-wenangkan. Besarnya kewenangan itu berbanding lurus dengan potensi penyalahgunaannya. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan menyalahgunakannya.
Ketiga, budaya. Salah satu kelemahan orang Indonesia adalah satu ini. Gampang meminjam, tapi sulit mengembalikan pinjaman. Kalangan mahasiswa mengenal ungkapan dalam pinjam-meminjam buku. Mereka bilang: hanya orang bodoh yang meminjamkan buku, dan hanya orang gila yang mengembalikan buku pinjaman. Tunggu diminta, itu pun harus berkali-kali, baru dikembalikan.
Dengan tiga dasar ini, kita kembali ke kasus dana TKI DPRD Flotim. Pertama, harus ada aturan. Aturan sudah ada, PP 37/2006. PP ini beri tenggat. Satu bulan sebelum masa bakti berakhir, anggota DPRD harus sudah kembalikan dana TKI. Eh, tidak jalan. DPRD-nya kepala batu. Maka, kedua, harus ada sanksi. Ini yang kita tunggu dari Pemkab Flotim. Juga dari Pemkab Manggarai. Tidak bisakah, misalnya, para kepala batu itu dilaporkan ke polisi?
“Bentara” FLORES POS, Senin 16 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar