Bahas Anggran Publik secara Tertutup
Oleh Frans Anggal
“Memalukan, DPRD Bahas Anggaran Tertutup”. Demikian judul berita Flores Pos Jumat 13 November 2009. Ini penilaian masyarakat Lembata. Rapat itu rapat badan anggaran legislatif dan tim anggaran eksekutif yang membahas pagu anggaran sementara (PPAS) APBD 2010, Kamis 12 November. Wartawan sudah dalam ruang rapat. Lima belas menit kemudian, Wakil Ketua DPRD Yoseph Meran Lagaor minta mereka keluar. Dasarnya, tatib dewan.
Kita kembali ke era Orde Baru. Era suka-sukanya pejabat publik. Di tangan mereka ada dua stempel. Yang satu, “terbuka untuk umum”. Yang lain, “rahasia negara”. Kapan mereka gunakan? Suka-sukanya mereka. Untuk hal yang tidak mengusik kepentingannya, stempelnya “terbuka untuk umum”. Untuk yang mengganggu apalagi membahayakan kepentingannya, stempelnya “rahasia negara”.
Apa kriterianya, itu bukan soal. Sebab, yang tentukan itu bukan hakikat sesuatu itu, tapi kehendak si penguasa. Atas maunya dan demi yang dimauinya, ruang publik mudah diubah jadi ruang privat. Di dalam ruang itulah apa pun yang dikehendakinya mudah terwujud. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi subur dalam ruang seperti ini.
Itu dulu. Sekarang ini? Sama saja. Lihat itu DPRD Lembata. Anggaran publik mereka bahas tertutup. Dalihnya, tatib. Kalau benar tatibnya begitu, pertanyaan kita, ini. Pertama, apakah tatib sudah bikin kategorisasi, mana yang rahasia dan mana yang tidak? Kedua, apakah tatib telah berikan kriteria rasional pada kategorisasi itu? Ketiga, kalau jawaban dua pertanyaan itu “ya”, apa yang jadi dasar sehingga pembahasan pagu PPAS APBD masuk kategori rahasia?
Kalau ketiga hal itu tidak tersurat dalam tatib, maka tatib itu tidak berbobot. Tidak jelas. Tidak tegas. Tidak lengkap. Tatib model begini tidak layak jadi dasar bersikap dan bertindak. Kalau dasarnya rapuh, bangunan di atasnya mudah ambruk. Konstruksi seperti inilah yang dipertontonkan DPRD Lembata.
Disebutkan dalam berita, tatib yang dimaksud merujuk pasal 88 ayat 3. Di situ disebutkan, rapat tertutup adalah rapat anggota DPRD yang tidak dapat dihadiri oleh umum. Cuma begitu? Mana kategorisasinya? Mana kriterianya? Mana dasarnya? Tanpa kategorisasi, kriteria, dan dasar yang tersurat, pengaturan tersebut berisiko multitafsir. Artinya? Suka-sukanya DPRD untuk tafsir dan nyatakan rapat ini tertutup, rapat itu terbuka. Seenaknya DPRD.
Kalau begitu, apa bedanya dengan pejabat Orde Baru? Tidak ada bedanya. Sama-sama seenaknya, suka-sukanya. Kalaupun ada, bedanya kecil, soal cara. Perihal rapat tertutup, DPRD Lembata bikin tatib yang tidak jelas, tidak tegas, dan tidak lengkap. Dengan begitu, mereka seenaknya kasih tafsir lalu bubuhkan stempel “rahasia negara” pada apa saja yang mereka suka. Bayangkan, pagu plafon PPAS APBD 2010 mereka stempeli sebagai rahasia, sehingga pembahasannya harus tertutup. Betul-betul seenaknya.
Masyarakat Lembata harus mencurigai sepak terjang seperti ini. Ada apa, anggaran publik dibahas tertutup? Supaya ‘negosiasi’-nya lancar dan aman? Supaya leluasa jadi calo proyek? Supaya mudah lakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme berjemaah?
Ini sudah kali kedua, DPRD Lembata mengecewakan. Sebelumnya, mereka ngotot pergi bimtek ke Jakarta. Hasilnya? Tatib yang tidak jelas, tidak tegas, dan tidak lengkap itu ka? Sekarang, mereka bahas anggaran publik secara tertutup. Hasilnya? Dapat ‘laba’ lewat ‘lobi’ karena ‘loba’ ka? Cuma mereka yang tau. Karena, sudah tau sama tau. Lalu, sama-sama tidak mau tau. Ancooor Lembata.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar