Kelaparan di Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Manggarai Barat (Mabar) tampil dengan dua wajah dalam dua berita Flores Pos Selasa 3 November 2009. Wajah ke luar dan wajah ke dalam. Ke luar, wajahnya hangat sehangat mentari pagi. Ke dalam, wajahnya dingin sedingin es kutub. Ke luar, wajahnya sangat peduli. Ke dalam, wajahnya sangat apatis. Simak saja dua berita itu.
Pertama, berita halaman 1. Mabar sumbangkan Rp100 juta untuk korban bencana gempa bumi di Sumatera Barat (Sumbar). Dana berasal dari pemkab Rp50 juta, Korpri Rp30 juta, dan lain-lain sumbangan Rp20 juta. Kedua, berita halaman 12. Dalam waktu dekat, pemkab akan bagikan beras dua ton ke warga Mabar yang kelaparan di Desa Nggorang, Golo Pongkor, dan Macang Tanggar.
Narasumber dua berita ini, Kadis Kesosnakertrans Maksimus Bagul. Ke luar, ke Sumbar, dia antar langsung bantuan. Selain untuk bawa bantuan, ia ke Sumbar untuk beri dukungan moril langsung kepada masyarakat setempat agar mereka cepat bangkit. Sekaligus, promosi pariwisata Mabar.
Tidak terungkap dalam berita, apakah Maksimus Bagul juga sudah mengunjungi warga Desa Nggorang, Golo Pongkor, dan Macang Tanggar yang kelaparan. Sekurang-kurangnya, seperti misi sucinya ke Sumbar itu, memberi dukungan moril langsung kepada masyarakat kelaparan agar mereka ulet dalam kelaparan, dan tekun berdoa mohon mana dari surga, karena pemkabnya sudah tidak peduli lagi pada derita rakyatnya sendiri.
Kelaparan warga tiga desa sudah berlangsung satu bulan, akibat gagal panen lantaran banjir dan serangan hama tikus. Banyak dari mereka sudah makan umbi hutan dan isi batang gebang. Kades sudah bikin laporan dan mohon bantuan. Harian ini berkali-kali memberitakannya. Berkali-kali pula mengulasnya dalam “Bentara”. DPRD pun sudah mendesak-desak. Hasilnya, tidak ada hasil.
Berita terakhir hanya bilang begini: dalam waktu dekat pemkab akan bagikan beras dua ton. Frasa ‘dalam waktu dekat’, ‘akan’, sama dengan ‘belum’. Padahal, kasus ini terjadi di depan mata, tidak pake langgar laut, tidak harus lewati banyak pulau, seperti ke Sumbar itu. Kasus ini pun terjadi jauh sebelum gempa bumi Sumbar. Kenapa reaksi pemkab begitu lamban?
Ke luar, ke Sumbar, wajah pemkab hangat sehangat mentari pagi. Ke dalam, ke warganya sendiri yang kelaparan, wajah itu dingin sedingin es kutub. Ke luar, wajahnya sangat peduli. Ke dalam, wajah itu amat apatis. Ke luar, bergegas-gegas bawa uang. Ke dalam, berlambat-lambat bawa beras.
Orang Jerman punya istilah yang enak di telinga. Ada Sendung (baca: zendung), ada Sammlung (baca: zamlung). Ada perutusan ke luar, ada kekompakan ke dalam. Ada kepedulian ke luar, ada empati ke dalam. Ibarat dua sayap, Sendung dan Sammlung harus sama-sama mengepak. Di Mabar, sayap Sendung-nya terentang, sayap Sammlung-nya patah. Seamsal burung, Mabar terbang terpincang-pincang.
Mabar seperti ini mencerminkan pemimpinnya. Ke luar, hebat. Ke dalam, ancor. Lihat, bisa-bisanya Mabar dapat piagam dari Menhut. Padahal, hutan Tobedo dihancurkan demi eksplorasi tambang emas. Ini karena wajah tadi. Wajah ke Sumbar sama dengan wajah ke Menhut. Ke luar, smiling face, ‘wajah tersenyum’. Ke dalam, killing face, ‘wajah membunuh’.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 4 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar