Membongkar Borok Dishubkominfo Sikka
Oleh Frans Anggal
Robertus Lameng, Kadis Hubkominfo Kabupaten Sikka, berjanji akan letakkan jabatan kalau pihak berwenang tidak tindak lanjuti temuan dugaan korupsi di instansinya. Demikian warta Flores Pos Kamis 19 November 2009. Kasus demi kasus telah ia beberkan kepada publik melalui media massa.
Kasus pertama, gaji fiktif selama 2001-2009. Rugikan negara Rp100 juta lebih. “Bentara” Flores Pos Kamis 19 November 2009 mengapresiasinya sebagai wujud transparansi. Dan transparansi merupakan salah satu prinsip hakiki penegakan good governance. Kasus kedua, rehabilitasi Terminal Barat tahun anggaran 2008 senilai Rp110 juta. Ternyata hanya berupa pengecatan.
Kasus ketiga dst, mencapai enam kasus. Pungutan retribusi terminal 2008 tanpa kuitansi resmi. Retribusi izin trayek 2008. Retribusi pengujian kendaran bermotor 2008. Pelataran parkir terminal 2007. Gudang Veem di Dermaga Sadang Bui yang sudah diperiksa BPKP tapi hasilnya belum diserahkan ke Dishubkominfo. Veev dan VIP Bandara Waioti, yang belum diserahkan ke Dishubkominfo oleh mantan kuasa pengguna anggaran dan mantan pejabat pembuat komitmen.
Singkatnya, satu instansi, banyak kasus. Semuanya dugaan korupsi. Dishubkominfo Sikka telah jadi sarang penyamun. Kenapa baru sekarang dibongkar dan disampaikan ke publik? Ilmuwan politik Peter Bachrach dan Morton S. Baratz bisa kasih jawaban lewat artikel mereka yang terkenal, The Two Faces of Power (1962). ‘Dua Wajah Kekuasaan’.
Dijelaskan, kekuasaan punya dua wajah. Wajah pertama, berupa gejala kekuasaan yang dapat diamati. Masalah dan putusan masalah dibicarakan dalam forum umum. Sedangkan wajah kedua, berupa gejala kekuasaan yang tidak dapat diamati. Masalah dan putusan masalah berlangsung dalam sirkuit tertutup. Di sini, si pemilik wajah bisa seseorang, bisa sekelompok orang. Mereka halangi perbincangan masalah dan putusan masalah dalam forum publik. Mereka tutup akses bagi media massa. Bahkan, mengabaikan hak publik untuk tahu, mereka lancarkan ‘proses tidak membuat keputusan’ (the non-decision making process).
Tampaknya, sebelum Roby Lameng memimpin, Dishubkominfo Sikka dikuasai kekuasaan wajah kedua itu. Banyak kasus dugaan korupsi sepertinya disembunyikan. Demikian pula penyelesaiannya. Seolah-olah uang itu uang arisan keluarga. Padahal, uang itu uang publik. Publik berhak untuk tahu. Publik berhak mendapatkan penyelesaian yang tuntas dan adil.
Begitu Roby Lameng memimpin, Dishubkominfo jadi heboh. Ia cek pembukuan keuangan. Ia kroscek ke Kupang. Ia dapatkan petunjuk bahkan bukti, telah terjadi pembayaran gaji fiktif selama 2001-2009. Negara dirugikan Rp100 juta lebih. Si pelaku, juru bayar gaji, tidak bisa membantah. Ia mengaku dan bikin pernyataan di atas kertas bermeterai. Ini dibeberkan kepada publik melalui media massa. Demikan pula kasus-kasus lainnya.
Tranparansi ala Roby Lameng benar-benar ‘gila’. Ia memotret instansinya pakai mesin rontgen. Dengan bantuan sinar-X, bagian dalam tubuh instansinya, yang selama ini serba-rahasia itu, kini terlihat jelas. Cantik? Pasti tidak. Di mana-mana, hasil foto rontgen tidak pernah cantik. Malah menakutkan. Tapi, semua orang tahu, foto rontgen itu perlu.
Hasil foto rontgen Dishubkominfo Sikka sudah diperlihatkan. Sudah pula dilaporkan ke aparat berwenang. Roby Lameng tinggal menunggu tindak lanjutnya. Kalau tidak ditindaklanjuti, ia akan letakkan jabatan. Kenapa? Katakan ini sinetron, judulnya ia benci: “Roby di Sarang Penyamun”. Apalagi kalau judulnya diubah, karena ia tetap kepala di sana: “Roby, Kepala Para Penyamun”.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 20 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar