20 November 2009

Komodo Flores di Jawa

Terancam Punahnya Komodo Flores

Oleh Frans Anggal

Sekarang baru terungkap. Ternyata, 26 komodo sudah dibawa ke Jawa. Itu selama 1998-1999. Sebelum dan sesudahnya? Wallahualam. Yang pasti, pemindahan itu atas izin pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dimintai pendapat. Masyarakat, apalagi. Untuk tahu saja, mereka dianggap tidak berhak. Maka, semuanya serba-rahasia. Kaget, di habitat aslinya komodo berkurang. Kaget, puluhan ekor sudah di Jawa.

Flores Pos Jumat 13 November 2009 wartakan, 1998 sebanyak 20 komodo dibawa ke Taman Safari Indonesia di Bogor. Pada 1999, sebanyak 3 pasang atau 6 ekor diangkut ke Kebun Bintang Surbaya. Lokasi penangkapan, Desa Golomori, Mabar. Diduga, komodo ini penghuni Cagar Alam Wae Wuul.

Belakangan, diketahui publik, populasi komodo Wae Wuul menurun drastis. Pada 1991 masih 99 ekor. Sembilan tahun kemudian, 2000, tinggal 19 ekor. Lalu, 2009, lahirlah kebijakan Menhut MS Kaban. Sebanyak 10 ekor mau dipindahkan ke Taman Safari Indonesia di Bali. Untuk pemurnian genetik, katanya. Ditolak masyarakat dan pemerintah NTT. Akhirnya, batal.

Seandainya 10 ekor itu dipindahkan, maka yang tersisa di Wae Wuul tinggal 9 ekor. Artinya apa? Punah! Dari aspek genetika, menurut Whitaker (2002), terlalu kecilnya populasi akan mengurangi kemampuan populasi dalam menanggapi perubahan lingkungan karena tidak tersedia sumber gen yang cukup. Akan terjadi erosi gen. Dan ini jalan menuju kepunahan.

Sampai sekarang belum diketahui ‘jumlah minimal bertahan hidup’ (minimum-viable-population) untuk komodo. Namun secara umum direkomendasikan, untuk mengimbangi erosi gen, diperlukan paling kurang 500 komodo. Dalam jangka pendek, populasi dapat bertahan dari kepunahan dengan jumlah 50 ekor. Dengan luas ‘daerah cari makan’ (foraging-area) minimal 4,2 km persegi.

Dari sisi tilik ini, pemindahan 26 komodo ke Jawa pada 1998-1999 tidak dapat dibenarkan. Demikian pula kebijakan Menhut MS Kaban yang mau pindahkan lagi 10 dari 19 ekor yang tersisa di Wae Wuul. Memindahkan sama dengan mengurangi populasi. Mengurangi populasi sama dengan mengerosikan gen. Mengerosikan gen sama dengan memunahkan atau memusnahkan populasi.

Ini tidak boleh terjadi. Komodo terlalu mahal. Amat sangat mahal. Pertama, di dunia, habitat aslinya hanya ada di Taman Nasional Komodo (TNK) dan pesisir barat Flores. Kedua, ia reptil paling tua di dunia. Hidup sejak 50 juta tahun lalu. Ia satu dari sedikit ‘fosil hidup’ peninggalan zaman ketika manusia belum ada di bumi. Ketiga, kemampuannya beradaptasi mengagumkan. Dulu nenek komodo berburu stegodon (gajah purba). Ketika stegodon punah, ia berganti mangsa. Kini, siput dan ikan pun ia makan.

Orang Flores tidak sadari ini. Kasihan. Dibandingkan dengan yang di TNK, komodo di Flores diterlantarkan. Di bawah BKSDA NTT nun jauh di Kupang, dengan petugas lapangan yang sedikit dan dana terbatas, bagaimana mungkin komodo di Flores bertahan hidup? Sudah begitu, dipindahkan ke luar Flores.

Syukur, 10 komodo Wae Wuul batal dipindahkan. Namun, itu saja tidak cukup. Bila tidak ada tindak lanjut, punahnya komodo Flores tinggal menghitung tahun. Komodo Flores ‘berhak’ mendapat perhatian yang sama dengan komodo TNK.

Kita tidak mau anak cucu orang Flores hanya dengar cerita. Bahwa dulu di pulau mereka “pernah” hidup komodo. Yang kemudian punah karena diterlantarkan dan (sengaja) dimusnahkan. Kita tidak mau, untuk melihat komodo Flores, anak cucu orang Flores harus ke Jawa lantaran komodo mereka sudah dipindahkan ke sana dan akhirnya hanya ada di sana.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 17 November 2009

Tidak ada komentar: