Sengeketa Madik di RSUD Ruteng
Oleh Frans Anggal
Pelayanan RSUD Ruteng dikeluhkan. Seorang pasien Jamkesmas disuruh pulang walau belum sembuh dari sakit akibat lakalantas. Ketika keluarga minta rawat inap diperpanjang 2-3 hari mengingat pasien masih lemah dan tak bisa jalan, petugas nyeletuk. “Kalau tidak mau, biar jadi lurah di rumah sakit saja.”
Keluar dari rumah sakit, kondisi pasien tidak membaik. Maka, keluarga kembali membawa dia ke rumah sakit. Kali ini tidak pakai Jamkesmas. Khawatir pelayanan kurang baik. Keluarga siap membeli resep. Dan, ternyata, disetujui rumah sakit.
Itu versi keluarga. Versi RSUD, lain lagi. Penanganan terhadap si pasien sudah memenuhi standar prosedur. Karena kondisinya dinilai membaik, penanganannya bisa dengan rawat jalan. Artinya, ia tetap gunakan obat yang diberikan dan selalu lakukan kontrol. Jadi, tidak ada diskriminasi terhadap pengguna Jamkesmas. Soal salah kata, pihak rumah sakit minta maaf.
Dua versi ini muncul dalam pertemuan yang difasilitasi dan dipimpin Direktur RSUD Ruteng, Dupe Nababan, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 5 November 2009. Kedua belah pihak dihadirkan. Didengarkan keterangannya. Bukan untuk berdebat membenarkan diri. Tapi untuk membangun saling pengertian. Dan, berhasil. Kedua belah pihak bermaaf-maafan. Si pasien pun kembali dirawat inap. Ia tetap gunakan Jamkesmas.
Ini salah satu model penyelesaian sengketa medik yang bagus. Yang didapatkan di sini bukan hanya berakhirnya sengketa, tapi mekarnya kesadaran dan saling pengertian. Bahwa, hubungan pasien dengan rumah sakit tidak sebatas hubungan konsumen dengan produsen jasa. Tapi juga hubungan kerekanan. Pasien dan keluarga pasien merupakan rekan kerja rumah sakit dalam proses pelayanan.
Dalam kerekanan, ada kesederajatan. Kesederajatan sejati selalu didasari saling hormat dan tenggang rasa. Dalam konteks ini, ucapan Hippocrates (460-370 SM) perlu diperluas. Tidak hanya ditujukan kepada rumah sakit, tapi juga kepada pasien, keluarga pasien, dan masyarakat. Sejak 2.400 tahun silam, Hippocrates berfatwa. Primum, non nocere (Latin). First, do no harm (Inggris). Pertama-tama, janganlah menyakiti.
Bagi rumah sakit, fatwa ini mengamanatkan: keselamatan pasien harus diutamakan. Fatwa ini menyiratkan pula: keselamatan pasien bukan hal baru dalam dunia pengobatan. Sebab, pada hakikatnya, tindakan penyelamatan pasien sudah menyatu dalam proses pengobatan itu sendiri.
Bagi pasien, keluarga pasien, dan masyarakat, fatwa Hippocrates mengamanatkan: dalam menyikapi pelayanan medis yang mengecewakan, hendaklah prinsip tidak mengabaikan cara. Fortiter in re, suaviter in modo (Latin). Teguh dalam prinsip, lembut dalam cara. Yang baik dan benar harus ditegakkan, namun hendaknya melalui cara yang baik dan benar pula. Bagaimanakah itu? Primum, non nocere. First, do no harm. Pertama-tama, janganlah menyakiti.
Modus inilah yang digunakan dalam penyelesaian sengketa medik yang difasilitasi dan dipimpin Direktur RSUD Ruteng, Dupe Nababan. Mungkin Dupe Nababan telah belajar banyak dari banyak sengketa medik sebelumnya. Lazim, para pihak baku sikut dan baku sikat di media massa. Tak jarang, mereka saling memberi cap yang cenderung mengarah ke demonisasi: men-setan-kan satu sama lain. Padahal, menurut iman kristiani, tubuh itu, diri itu, kenisah Roh Kudus, bukan markas besar setan.
Dupe Nababan telah memberikan pelajaran berharga. Profisiat!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 6 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar