18 November 2009

Terima Kasih, Pater Amatus

Provinsial SVD Ende Berpulang

Oleh Frans Anggal

Hanya berselang sehari, kabar itu sudah berganti. Setelah sukacita, datang juga dukacita. Sabtu 7 November 2009, kabar gembira tersiar. Rm Hubertus Leteng Pr diangkat dan diumumkan oleh Paus Benediktus XVI menjadi uskup Ruteng. Belum lagi puncak kegembiraan itu lerai, tersebarlah warta dukana. Minggu 8 November, Provinsial SVD Ende P Amatus Woi SVD meninggal dunia di Surabaya.

Harian Umum Flores Pos menjadikan kedua peristiwa ini berita utama, masing-masing pada Senin 9 November dan Selasa 10 November 2009. Dua peristiwa kontras. Ada yang muncul, ada yang hilang. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang teraih, ada yang terlepas. Ada yang akan disua, ada yang tak akan dijumpai lagi. Yang satu diutus pergi ke tempat ia akan berbakti. Yang lain dipanggil pulang ke tempat dari mana ia berasal.

Berita berjudul “Provinsial SVD Ende Tutup Usia” yang diturunkan Flores Pos disertai sebuah gambar kenangan. Pater Amatus sedang memberikan sambutan pada perayaan HUT ke-10 Flores Pos, 9 September 2009. Inilah kenangan terakhirnya bersama koran ini.

Sebagai salah satu pemilik, selain Bpk Gaspar P Ehok, sang provinsial saat itu memberikan pencerahan, kekuatan, peneguhan, dan harapan. Dialah sang matahari. Tak dinyana, matahari itu ternyata sudah condong ke magrib. Kata-katanya ternyata wasiat di senjakala kehidupan. Itulah kata-katanya yang tak akan pernah diucapkannya lagi. Kata-kata terakhir. Dan karena itu, membekas, dan akan selalu dikenang.

Beberapa tahun lalu, ketika masih sebagai wakil provinsial, ia mengisi rubrik opini Flores Pos setiap Senin. Tulisannya tajam. Menukik ke inti masalah. Ia tidak boros kata dan kalimat. Pilihan kata dan pola kalimatnya pun kuat. Jelas, tegas, efektif, sekaligus memikat. Semenjak terlampau sibuk dan kemudian menjadi provinsial, ia tidak lagi menulis secara rutin. Bahkan berhenti total. Flores Pos dan khalayak pembacanya mulai ‘kehilangan’ seorang Amatus sejak saat itu.

Meski merasa ‘kehilangan’, kru Flores Pos tahu baik, sang provinsial tetap punya hati untuk koran ini. Dia tetap percaya dan andalkan koran ini sebagai salah satu ujung tombak pewartaan: menegakkan kebenaran, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Ia tetap percaya dan andalkan koran ini sebagai forum publik yang mengembangkan dialog profetis dengan masyarakat miskin, masyarakat beragama lain, masyarakat berkebudayaan lain, dan masyarakat berideologi lain.

Yang luar biasa, meski sebagai pemilik, ia tidak pernah sekalipun mengintervensi kebijakan redaksional. Tidak semua pemilik modal mampu dan mau seperti ini. Dibutuhkan pengekangan diri. Dalam budaya pers di Indonesia, pengekangan diri seperti ini sangat mahal. Sudah menjadi rahasia umum, banyak ruang redaksi tidak lagi menjadi ruang ‘suci’.

Redaksi Flores Pos satu dari kekecualiannya. Ini karena para pemilik modalnya tahu diri, kekang diri, dan menghargai independensi redaksi. Kondisi ini memungkinkan redaksi berada pada jalur tradisi jurnalisme bermartabat. Bahwa, loyalitas yang benar adalah loyalitas kepada warga, bukan kepada penguasa, bukan pula kepada pemilik modal.

Pater Amatus telah pergi. Matahari itu telah terbenam. Fajar baru akan segera terbit. Pasti, seperti kemarin, ia pun memberikan pencerahan, kekuatan, peneguhan, dan harapan. Terima kasih, Matahari. Selamat datang, Fajar.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 11 November 2009

Tidak ada komentar: