Hakim dan Terdakwa Dipukul Massa
Oleh Frans Anggal
Salah seorang hakim Pengadilan Negeri Ende dan terdakwa kasus bawa lari siswi SMA dipukul massa pengunjung sidang di pengadilan itu, Kamis 29 Oktober 2009. Demikan warta Flores Pos Jumat 30 Oktober 2009. Mulanya, pengunjung hanya menggebuk terdakwa, Olimpius Deo Bari, guru SMA Negeri 2 Ende. Terdorong oleh tanggung jawab, hakim Ronald Masang datang melerai. Saat itulah ia kena jotos hingga bibirnya terluka.
Di manakah aparat Polres Ende ketika itu? Tidak ada seorang pun di sana! Bukan salahnya polres. Ini murni seratus persen salahnya kejari. Pihak kejari yang menghadirkan terdakwa ke persidangan tidak meminta pengawalan dari polres. Kenapa bisa begitu? “Kami tidak menyangka ini akan terjadi. Ini salah kami,” kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Ende Deden Soemantri.
Pernyataan Deden Soemantri sungguh jujur. Dan dalam jawaban itulah letak pokok soalnya. Kejari memutuskan sesuatu hanya berdasarkan ‘sangkaan’. Ini sikap gegabah yang sangat riskan. Sama gegabahnya, ‘menyangka’ semuanya aman-aman saja, beres-beres saja, lancar-lancar saja.
Kejari, oleh tanggung jawab yang diembannya dan karakter perkara yang ditanganinya, diidealkan mampu meraba-raba kemungkinan yang akan terjadi. Syukur-syukur kalau bisa memastikannya. Kalau tidak? Pertama, janganlah kemungkinan itu diabaikan. Apalagi diremehkan. Kedua, sikap dan tindakan paling tepat tetaplah satu ini. Mengantisipasi kemungkinan paling buruk. Ini yang justru tidak dilakukan kejari.
Kasus guru bawa lari siswi. Ini sangat serius untuk budaya kita. Guru dianggap sebagai orangtua. Guru itu digugu. Ia pusat keteladanan (exemplary center). Pandangan seperti ini mengandung implikasi serius. Sekali melakukan tindakan amoral, ia akan dikecam habis-habisan. Apalagi jika tindakan itu ia lakukan terhadap muridnya sendiri. Ia sulit dimaafkan. Bentuknya bisa macam-macam. Salah satunya, tindak kekerasan.
Dalam kasus ini, presedennya sudah ada. Tindak kekerasan massa terhadap si guru sudah terjadi sebelumnya. Sudah terjadi bukan berarti sudah selesai. Peluang untuk berulang tetap terbuka. Saat terdakwa dalam tahanan polres, peluang itu hilang. Demikan pula saat ia dalam tahanan kejaksaan. Peluang itu baru muncul kembali saat persidangan. Apalagi jika persidangan itu terbuka untuk umum.
Pertanyaan kita: kenapa kejari tidak melilhat tindak kekerasan massa yang sudah terjadi sebelumnya itu sebagai sesuatu yang bisa berulang? Kenapa kejari tidak melihat peluang berulangnya tindak kekerasan itu sebagai ancaman serius? Kenapa kejari tidak melihat ancaman serius itu sebagai sesuatu yang harus diantisipasi? Kenapa kejari tidak melihat sesuatu yang harus diantisipasi itu sebagai sesuatu yang mendesakkan kehadiran aparat keamanan?
Berani-beraninya kejari menghadirkan terdakwa ke perisidangan terbuka tanpa kawalan polisi. Ini sikap gegabah, yang tidak lagi sekadar riskan, tapi sudah nyata-nyata terbukti mengkondisikan berulangnya tindak kekerasan. Kali ini, korbannya bukan hanya si terdakwa. Hakim juga terkena pukulan. Persidangan kasus ini pun ditunda. Bahkan, sedang dipertimbangkan untuk digelar di tempat lain.
“Kami tidak menyangka ini akan terjadi. Ini salah kami.” Kejari mengakui kesalahannya. Sebuah sikap ksatria. Sikap terpuji. Sikap yang patut dihargai. Namun, mengaku bersalah saja tidaklah cukup. So what, gitu lo! Perlu berubah. Menjadi lebih baik, dan semakin baik.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 31 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar