16 Oktober 2009

Penutur Dunia Multikultur

Kiblat Jurnalisme Perdamaian

Oleh Frans Anggal

Seorang jurnalis yang meliput di daerah konflik harus mampu meredam konflik agar permasalahan yang ada dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Begitu kata anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, pada lokakarya di Kupang, 14 Oktober 2009.

Apa yang dikatakan Bambang Harymurti merupakan pilihan sikap jurnalisme perdamaian. Lawannya, jurnalisme perang atau jurnalisme konflik. Wacana tentang dua genre ini muncul pertama kali dalam lokakarya di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, 25-29 Agustus 1997. Hasil lokakarya dibukukan dalam Peace Journalism Option (1998).

Perbedaan hakiki kedua genre ini terletak pada orientasi. Yang diorientasikan jurnalisme perang adalah perang, propaganda, golongan elite, dan kemenangan. Yang diorientasikan jurnalisme perdamaian adalah perdamaian, kebenaran, golongan masyarakat, dan penyelesaian.

Kedua genre mengakui penting dan strategisnya peran media dalam konflik multikultur. Tanpa media, konflik tidak akan memiliki legitimasi. Medialah yang memperluas penyebaran berita konflik. Media jugalah yang mempertajam efek psikologisnya, bahkan melebihi apa yang dicapai konflik itu sendiri.

Studi yang dilakukan Eriyanto (2002) tentang konflik di Maluku 1999 menyimpulkan, konflik itu tidak berdiri sendiri. Media ikut menjadi bagian di dalamnya, bahkan memperkeruh suasana. Akhirnya, yang terjadi bukan hanya konflik antara kelompok Islam dan Kristen, tapi juga persaingan antarmedia yang berbasiskan sentimen agama. Uniknya, situasi konflik ini dimanfaatkan oleh satu kelompok media besar di Indonesia.

Konflik Maluku mengukuhkan satu hal. Begitu penting dan strategisnya peran media di tengah konflik. Tidak berlebihan kalau dikatakan: untuk sebagian, konflik atau perang itu dibikin oleh media. Kita di Indonesia mungkin baru menyadari kenyataan ini setelah 10.758 orang meninggal dalam 3.608 konflik di Tanah Air sepanjang 1990-2003. Tidak demikian dengan Bertold Brecht.

Sudah sejak seabad lalu, penyair kelahiran Augsburg, Jerman, 10 Februari 1898 ini mengingatkan penting dan strategisnya peran media. “Jika koran dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, koran pun dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban.” Demikian pesan moralnya dalam “Kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner” (Geschicten vom Herrn Keuner).

Dalam menciptakan ketertiban, perdamaian, dalam konflik multikultur, apa yang harus dilakukan media? Ada media yang memilih tidak memberitakannya. Itu berarti menutup hak masyarakat untuk tahu. Akibatnya, karena tidak memperoleh berita, masyarakat mengkonsumsi gosip dan menganggapnya sebagai berita.

Celakalah masyarakat yang mengambil keputuan berdasarkan gosip. Jurnalisme harus bisa mengalahkan gosip dengan berita bermutu. Yaitu, berita yang benar, yang akurat, karena terverifikasi. Berita bermutu akan memberikan informasi bermutu kepada masyarakat. Dan Informasi bermutu akan membantu masyarakat mengambil keputusan bermutu pula.

Atas dasar itu, bila ada konflik di tengah masyarakat, persoalan pokok bagi media yang bertanggung jawab bukanlah boleh atau tidak konflik itu diberitakan. Melainkan, bagaimana memberitakannya. Tentang bagaimana memberitakan konflik, media yang bertanggung jawab pasti memilih jurnalisme perdamaian. Konflik tetap diberitakan, namun dengan orientasi perdamaian, kebenaran, golongan masyarakat, dan penyelesaian. Sebab, sejatinya, media adalah penutur, dan bukan penghancur, dunia multikultur.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 16 Oktober 2009

Tidak ada komentar: