Mengapa Pembantaian Massal Tak Dikenang?
Oleh Frans Anggal
Hari ini, 1 Oktober 2009. Masihkan kita mengenangnya sebagai Hari Kesaktian Pancasila? Kalau masih, apa yang terkandung dalam memori kita?
Bisa macam-macam. Namun, bagi yang sudah termakan indoktrinasi Orde Baru, memorinya cenderung terbatas. Terbatas karena dibatasi, disetem oleh penguasa. Disetem melalui historiografi atau penulisan sejarah yang dimonopoli. Di dalamnya, yang satu diperlihatkan, yang lain disembunyikan. Yang satu ditonjol-tonjolkan, yang lain dikabur-kaburkan. Hasilnya: G30S itu kebiadaban PKI. Hari Kesaktian Pancasila itu kepahlawanan Soeharto.
Historiografi ala Orde Baru itu kental dengan peng-kultus-individu-an Soeharto. Sejarah memang sering hanya menjadi sejarahnya pamenang, bukan sejarahnya pecundang; sejarahnya penguasa, bukan sejarahnya jelata; bahkan tak jarang cuma sejarahnya lelaki, bukan sejarahnya perempuan.
Sejarah (history) sepertinya “... tidak lebih dari his-story---kisah dia, yakni kisah dari, oleh, dan tentang lelaki atau kisah versi atau milik lelaki (his), yang tidak lain adalah kaum elite politik atau pendukung fanatiknya; bukan sejarah masyarakat kebanyakan, yang notabene adalah kaum tani, apalagi her-story (kisah dari, oleh, dan tentang kaum perempuan).” Begitu tulis sosiolog Robert Mirsel dalam buku yang disuntingnya bersama Eman J. Embu, Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai (Penerbit Ledalero, 2004).
Sejarah memang sering terasa tidak adil. Penyair Bertolt Brecht menyadari ketidakadilan ini ketika melalui puisinya ia ‘menatap’ Tembok Tiongkok. Pada malam ketika Tembok Tiongkok jadi, Ke mana para tukang batu pergi? Para tukang batu hilang tak tercatat sejarah. Hanya para kaisar yang disebut.
Secara lebih dramatis, sosiolog Peter L. Berger ‘menatap’ sejarah pada piramida di Mesir. Ia tidak menanyakan ke mana para tukang batu pergi. Tapi, berapa banyak tukang batu yang mati saat membangun piramida dan tidak tercatat dalam sejarah. Di mata Berger, piramida itu tidak hanya piramida kemashyuran firaun, tapi juga dan terutama ‘piramida korban manusia’.
Hari Kesaktian Pancasila. Bolehlah kita memandangnya seperti Tembok Tiongkok dalam puisi Brecht. Atau, seperti piramida dalam buku Berger. Setelah 1 Oktober 1965, berapa korban yang dibantai atas nama Pancasila dan demi kesaktian Pancasila?
Banyak dan masaal. Persisnya berapa, hingga kini belum bisa dipastikan. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990), jumlah korban berkisar 78 ribu hingga 2 juta jiwa. Taruhlah, kalau dua jumlah itu dirata-ratakan, 432.590 orang.
Kata Cribb, pembantaian dilakukan dengan cara sederhana. "Mereka menggunakan alat pisau atau golok." Tidak ada kamar gas seperti punya Nazi di Jerman. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka dibunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, kata Cribb, "Kejadian itu biasanya malam." Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Sedangkan Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Mereka dibantai, tanpa peradilan, untuk kemudian tidak pernah dikenang. G30S kita kenang. Setemannya: kebiadaban PKI. Hari Kesaktian Pancasila kita kenang. Setemannya: kepahlawanan Soeharto. Lalu, kenapa kita tidak berani mengenang kebiadaban negara yang telah membantai massal rakyatnya sendiri? Untuk apa kita mengenang Hari Kesaktian Pancasila kalau kita tak jujur dengan sejarah?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 1 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar