Fenomena "Pejabatisasi" dalam Masyarakat
Oleh Frans Anggal
Tiga anggota DPRD Lembata tinggalkan tempat upacara sebelum acara dimulai. Philipus Bediona, Servasius Suban, Simeon Lake. Mereka kesal, Bupati Andreas Duli Manuk terlambat. Dalam undangan, upacara dimulai pkl 07.30. Karena keterlambatan bupati, upacara pun baru dimulai pkl 08.40. Molor 1 jam 10 menit.
Aksi walk out ini terjadi pada perayaan HUT 10 Tahun Otonomi Lembata di Lewoleba, Senin 12 Oktober 2009. “Kami protes, dengan sengaja meninggalkan tempat terhormat, dan mudah-mudahan ada perubahan ke depan,” kata Philipus Bediona dalam warta Flores Pos Selasa 13 Oktober 2009.
Molor ini bukan yang pertama, kata anggota dewan. Saat peletakan batu pertama kantor Bank Pembangunan Daerah, bupati baru datang setelah undangan menunggu berjam-jam. Kegiatan di Lopo, juga molor karena bupati terlambat. Padahal, disiplin itu penting. Menentukan kemajuan daerah. “Kita harus mulai dari yang kecil, disiplin waktu,” kata Bediona.
Disiplin penting. Itu benar. Namun, sorotan kita kali ini bukan tentang itu. Tapi tentang yang lain, yang terkait dengannya. Kita namakan saja: sebuah fenomena. Fenomena kepejabatan, sekaligus fenomena kemasyarakatan. Tentang pejabat, ya tentang masyarakat juga.
Banyak contoh tentang ini. Salah satunya: di geraja Katedral Ruteng, 2008, pada misa penguburan jenazah Uskup Eduardus Sangsun SVD. Umat sudah penuh. Ada yang hadir beberapa jam sebelum perayaan dimulai. Tepat pada jam acara seperti tercantum dalam undangan, petugas liturgi sampaikan pengumuman. Umat diminta bersabar, tunggu gubernur dan rombongan. Saat gubernur dan rombongan masuk 30 menit kemudian, apa yang tampak ? Para petugas protokoler sibuk sana-sini, lalu-lalang di depan umat. Mereka memberi kesan, seakan-akan gereja itu lapangan upacara kedinasan.
Upacara HUT 10 Tahun Otonomi Lembata molor, karena tunggu Bupati Manuk. Misa penguburan Uskup Edu Sangsun molor, karena tunggu gubernur dan rombongan. Bupati Manuk ditunggu, bisa dimengerti. Dia inspektur upacara pada perayaan. Gubernur ditunggu? Ini yang sulit dipahami. Yang pimpin misa saat itu uskup, bukan gubernur. Bersama umat, uskup ‘disiksa’ menunggu gubernur.
Apa yang sedang menggejala pada kedua upacara itu? Fenomena “pejabatisasi”! Pejabat menjadi tokoh sentral dalam masyarakat. Sedemikian sentral posisinya , maka dalam urusan pertanian, dia lebih penting ketimbang petani. Dalam urusan kesehatan, dia lebih penting ketimbang dokter. Dalam urusan pendidikan, dia lebih penting ketimbang guru. Dalam urusan keagaamaan, dia lebih penting ketimbang imam.
Salahkah si pejabat? Ya, kalau dia menganggap dan memperlakukan diri lebih penting daripada pihak lain dalam segala urusan. Namun, yang bersalah bukan hanya dia. Masyarakat juga, umat juga, kalau menganggap dan memperlakukan si pejabat lebih penting daripada pihak lain dalam segala urusan. Baik si pejabat maupun masyarakat sama-sama berandil melahirkan dan melanggengkan “pejabatisasi”.
Fenomena “pejabatisasi” sudah merambah dari ruang publik ke ruang privat. Dari ruang kantor ke ruang keluarga. Bahasa menunjukkan itu. Kita terbiasa dengan frasa ‘istri bupati’, ‘anak bupati’, dll. Padahal, bupati itu jabatan, fungsi, bukan orang, bukan pribadi. Kita anggap biasa. Maka, ‘istri bupati’, ‘anak bupati’ juga merasa biasa ketika menganggap diri ‘bupati kecil’. Salah siapa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 15 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar