Kasus Kematian Yoakim Langoday
Oleh Frans Anggal
JPU Kejari Lewoleba mengembalikan BAP pembunuhan Yoakim Langoday kepada penyidik Polres Lembata disertai petunjuk untuk dilengkapi. Salah satu yang diminta JPU adalah saksi mata: orang yang melihat langsung pembunuhan. Demikian warta Flores Pos Kamis 15 Oktober 2009.
Masuk akalkah itu? Tidak! Begitu tanggapan Piter Bala Wukak, Koordinator Umum Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras). Yoakim dibunuh di hutan bakau (19 Mei 2009). Lokasi ini sengaja dipilih karena tersembunyi. Dengan demikian, pembunuhan tidak dilihat orang. Bagaimana mungkin JPU meminta saksi mata? “Jaksa hanya mengada-ada.”
Mengada-ada seperti ini bukan yang pertama di Flores. Juni 2009, saat mengembalikan BAP kasus PDAM Ende, JPU juga mengada-ada: meminta polisi menanyai tersangka, apakah mereka sadar melakukan korupsi. Memangnya ada korupsi tanpa sadar? Korupi sambil tidur nyenyak? Kalaupun mereka tidak tahu yang mereka lakukan itu korupsi, ketidaktahuan tidak dapat dijadikan dalih pembenaran tindakan atau peniadaan hukuman.
Kedua JPU itu sama dalam satu hal. Mengabaikan apa yang oleh Thomas Aquinas disebut ‘tatanan akal budi’ atau ordo rationis atau ordinance of reason. Tata akal budi tidak boleh dilepaskan dari hukum. Sekali dilepaskan, hukum dan tindakan hukum menjadi tidak masuk akal.
Permintaan kedua JPU itu tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal maka, secara moral, daya ikat atau daya wajibnya hilang. Karena daya ikatnya hilang maka polisi tidak perlu merasa terbebani dan memaksa diri memenuhi permintaan itu.
Bandingkan dengan perintah Nazi Hitler: membunuh orang Yahudi. Perintah ini tidak masuk akal. Ia melanggar tata akal budi. Maka, secara moral, ia tidak punya daya ikat apa pun. Artinya, apabila dilanggar, si pelanggar tidak dapat disalahkan secara moral. Bahwa dia dihukum karenanya, itu soal lain.
Kurang lebih seperti itulah. Karena melanggar tata akal budi maka, meski diminta JPU, Polres Ende tidak perlu menanyai tersangka kasus PDAM, “Apakah kamu sadar melakukan korupsi?” Demikian pula Polres Lembata, tidak perlu mencari, apalagi mencari-cari, saksi mata pembunuhan Langoday, kalau memang tidak ada.
Yang kita herankan, bisa-bisanya JPU meminta hal mengada-ada seperti ini. Apakah memang karena tolol? Kalau tolol, kenapa jadi JPU? Kemungkinan lain: JPU sengaja mentolol-tololkan diri, demi ‘sesuatu’. Dalam kasus Langoday, Piter Bala Wukak mengendus ‘sesuatu’ itu sebagai kesan. Ada skenario untuk membebaskan para tersangka.
Boleh jadi. Apalagi kalau dikaitkan dengan korban, tersangka, dan motif. Korbannya orang besar untuk ukuran daerah: Langoday, Kabid Pengawasan, Pengelolaan, dan Pemasaran Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Salah satu tersangkanya anak orang besar: Erni Manuk, putri Andreas Duli Manuk, bupati Lembata. Motifnya pun terkait proyek besar: proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Mortif ini disampaikan sendiri oleh Bupati Manuk dalam rapat paripurna DPRD Lembata, Selasa 18 Agustus 2009.
Apakah karena kualifikasi ‘besar’ itu dan demi ‘sesuatu’, JPU lalu mentotol-tololkan diri? Entahlah. Kalaupun benar begitu, kita minta polisi tidak ikut-ikutan tolol. Tidak perlu mencari, apalagi mencari-cari, saksi mata kalau memang tidak ada. Pembunuhan itu bukan sinetron. Tidak ada pemirsanya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 17 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar